Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan anggaran belanja barang dan jasa senilai Rp86 triliun lebih tidak diumumkan kepada publik dari total anggaran belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2017 sebesar Rp994 triliun. Padahal pada 2017 ada 241 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang menjerat 119 orang dengan kerugian negara senilai Rp1,5 triliun.
Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah, memaparkan ada beberapa kementerian dan lembaga yang tidak mengumumkan sebagian lelangnya kepada publik dan ada pula yang tidak mengumumkan total anggaran belanja barang dan jasanya kepada publik. Diantaranya, Kementerian Keuangan senilai Rp18 triliun, Kementerian Kesehatan sebesar Rp6 triliun, dan Pemprov DKI Jakarta Rp5 triliun. Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PUPR, dan KKP total anggarannya tidak dibuka pada publik sehingga tidak bisa dihitung berapa anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumkan kepada publik.
“Anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumkan pada publik berpotensi dikorupsi karena tidak transparan,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/02/2018).
Padahal berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 54 tahun 2010, seluruh belanja barang dan jasa harus diumumkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) melaluimonev.lkpp.go.id.
Namun berdasarkan situs tersebut, belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2017 hanya senilai Rp994 triliun dan yang diumumkan di RUP hanya Rp908,7 triliun. “Jadi, ada sekitar Rp 86 triliun lebih anggaran belanja barang dan jasa tidak diumumkan pada publik,” kata Wana.
Sementara, pada 2017 korupsi pengadaan barang dan jasa ada sebanyak 241 kasus dengan 119 pelaku yang seluruhnya berlatar belakang sebagai panitia pengadaan. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp1,5 triliun. Modusnya antara lain,penyalahgunaan anggaran sebanyak 67 kasus, mark up sebanyak 60 kasus, dan kegiatan atau proyek fiktif sebanyak 33 kasus.
Terkait hal ini, ICW merekomendasikan agar pemerintah bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengoptimalkan penggunaan e-catalog, e-purchasing untuk meminimalisir terjadinya potensi korupsi mulai dari tahap perencanaan.
Kemudian agar setiap kementerian, lembaga, dan pemerintahan mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan LKPP bila ditemukan adanya potensi pelanggaran atau kerugian negara yang ditimbulkan terkait dengan pengadaan barang dan jasa. “Selanjutnya, institusi penegak hukum juga perlu menerapkan pengenaan pasal pencucian uang bagi korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi agar aset yang dimiliki dapat dirampas dan dikembalikan ke negara,” tandas Wana.
Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP, Setya Budi, mengaku prihatin dengan fakta yang diungkap ICW. Dia menyatakan data tersebut benar adanya, bahkan masyarakat bisa mengecek langsung di situs monev.lkpp.go.id. “Saya melihat data tadi prihatin, karena di tengah keterbukaan ini tetapi masih ada yang tidak melaporkan,” katanya.
Dia menambahkan, fakta yang diungkap oleh ICW adalah bukti bahwa selama ini banyak kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah tidak disiplin menjalankan Perpres no. 54 tahun 2010. “Karena ini wajib bukan sunnah. Mengapa enggak diumumkan ke publik,” imbuhnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membantah pengadaan barang/jasa pemerintah di lembaga dan kementerian (L/K) tidak transparan, termasuk di Kementerian Keuangan (Kemkeu). “Ironis sekali, saya buat workshop LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) begini dan ada berita yang dirilis dengan meng-quote ICW. Di dalam procurement disebutkan Rp18 triliun,” katanya.
Sri Mulyani menerangkan, anggaran Kemkeu pada 2017 hanya Rp27 triliun. Dari total anggaran itu, sebesar Rp17 triliun untuk belanja pegawai. Sementara sisanya sebesar Rp10 triliun untuk belanja barang dan jasa Dari jumlah itu, sebesar Rp1,1 triliun belanja modal, sedangkan sisanya Rp4,7 triliun dan Rp4,2 triliun adalah belanja barang. “Jadi tidak mungkin ada Rp 18 triliun untuk belanja,” tegasnya. (JR)