Kalangan aktivis menilai tuntutan jaksa KPK terkait hukuman 18 tahun penjara terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam, masih terbilang ringan dibanding kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. KPK diminta menuntut Nur Alam tidak hanya dari suap dan kekayaan yang diterima oleh perusahaan tetapi juga kerugian lingkungan yang menjadi dampak dari penyalahgunaan kewenangan.
Peneliti dari Yayasan Sagero, Sahrul Gelo, mengatakan perhitungan kerugian lingkungan harus dievaluasi secara komprehensif termasuk biaya pemulihan, dan opportunity lost yang terjadi.
“Dalam tuntutan ini ahli memang menyebutkan biaya pemulihan tata air dan daerah aliran sungai, tetapi opportunity lost akibat hilangnya jasa lingkungan yang hilang belum dihitung,” katanya dalam siaran persnya, Rabu (14/03/2018).
Dalam pemeriksaan di persidangan Nur Alam, ahli hanya menghitung kerugian dari keuangan penjualan nikel sebesar Rp1,59 triliun. Menurut Sahrul, jaksa KPK seharusnya dapat menggali lebih jauh beban sosial dari kejahatan lingkungan yang terjadi akibat tindakan korupsi Nur Alam.
“Padahal KPK telah berulangkali melontarkan wacana untuk menggunakan kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara,” ujarnya.
Dalam kasus tersebut, upaya KPK juga belum terlihat untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang terlibat aktif dalam indikasi suap dan pencucian uang. Tiga perusahaan memiliki peran aktif dalam kasus ini yaitu PT Billy Indonesia, Richcorp International Limited, dan PT Sultra Timbel Mas Abadi, termasuk penerima manfaat utama atau beneficial owner dari ketiga perusahaan tersebut.
Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung no. 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, pertanggungjawaban oleh korporasi bukan lagi wacana yang harus diperdebatkan.
“Efek jera perlu diberikan kepada perusahaan yang terlibat dan bahkan menerima manfaat dari tindak pidana korupsi. Apalagi dalam kasus korupsi Nur Alam ini, berbagai modus penyalahgunaan wewenang untuk penerbitan izin industri ekstraktif yang dimulai dari gratifikasi oleh korporasi terlihat dengan jelas,” ujar Sahrul.
Mulai dari penerbitan izin usaha pertambangan terhadap PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dilakukan secara backdated, sementara izin lingkungan terbit hanya dalam waktu 2 minggu. Hingga pembuatan izin lingkungan yang dijadikan sarana untuk menyalurkan uang suap kepada pihak yang terkait.
Peneliti dari Auriga, Syahrul Fitra, mengatakan pihaknya mencatat setidaknya 2.030 izin pertambangan terbit satu tahun setelah Pilkada.
“Izin pada PT AHB diinisiasi sejak tahun 2009, artinya satu tahun setelah Nur Alam terpilih sebagai Gubernur. Kasus ini merupakan modus umum dalam korupsi perizinan, dengan demikian KPK seharusnya serius dalam melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak yang terlibat agar dapat menjadi efek jera bagi kepala daerah lainnya,” jelasnya.
Pihaknya mendesak KPK memperluas permintaan pertanggungjawaban pidana termasuk kepada korporasi yang terlibat sebagaimana hasil pemeriksaan di persidangan, dan secara serius menggunakan valuasi kerusakan lingkungan dalam menghitung kerugian negar.
“Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara Nur Alam harus memberikan pertimbangan hukum bahwa terdapat keterlibatan korporasi dalam perkara Nur Alam, yang mesti ditindaklanjuti KPK untuk turut menjerat korporasi dalam tindak pidana ini,” kata Syahrul.
Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) nonaktif, Nur Alam, dengan hukuman 18 tahun penjara. Nur Alam dinilai terbukti memperkaya diri sendiri Rp 2,7 miliar atas penerbitan surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan tuntutan hukuman ini tergolong berat. Sebab, perbuatan Nur Alam dinilai berdampak besar terhadap lingkungan hidup. Selain dituntut 18 tahun penjara, JPU juga menuntut pencabutan hak politik yang bersangkutan.
“Ini tahapan yang ditentukan KPK jika kita sudah yakin terkait fakta persidangan. Kita tuntut Nur Alam 18 tahun dan pencabutan hak politik. Saya kira ini termasuk tuntutan yang tertinggi kalau dibandingkan dengan kepala daerah yang lain. Dibanding dengan penegak hukum kami pernah menuntut seumur hidup juga pernah menuntut 20 tahun,” katanya.(JR)