Keputusan Mahkamah Konstitusi masih berupa kekuasaan Negara setengah hati alias banci.
Keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) masih dianggap hanya sebagai pelaksanaan kekuasaan Negara yang setengah hati. MK sampai saat ini tidak memiliki gigi untuk mengeksekusi putusannya sendiri.
Hal itu disampaikan Praktisi Hukum dari Magister Hukum Universitas Indonesia, Hudson Hutapea.
Menurut pria yang berprofesi sebagai Advokat ini, secara faktual, penerapan konstitusional dan inkonstitusional bersyarat menjadi kurang efektif.
Dikarenakan kecenderungan putusan MK tersebut diabaikan oleh para Pemohon dan Termohon.
Merujuk pada pendapat mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, dijelaskan Hudson Hutapea, yang menyatakan bahwa efektivitas checks and balances Putusan MK dapat dilihat dari dilaksanakan atau tidaknya bunyi Putusan MK oleh Pembuat Undang-Undang.
Kepatuhan dalam implementasi Putusan MK itu dapat pula menjadi ukuran apakah UUD 1945 yang menjadi Hukum Tertinggi dalam Negara sungguh-sungguh menjadi hukum yang hidup.
Hudson menekankan, harus diakui, MK tidak memiliki aparat dan kelengkapan apa pun untuk menjamin penegakan keputusannya, meskipun secara alamiah kelembagaan.
Akan tetapi MK berkepentingan untuk melihat putusannya dihormati dan dipatuhi.
“Tidak ada Polisi atau Juru Sita Pengadilan atau instrumen lain untuk melaksanakan apa pun yang diputuskan MK, atau yang menurut putusan tersebut harus dilaksanakan. Oleh sebab itulah, Kekuasaan Kehakiman, khususnya MK, dapat dipandang sebagai cabang kekuasaan Negara yang paling lemah,” tutur Hudson Hutapea, Selasa (04/01/2022).
Padahal, Hudson Hutapea menuturkan, pada 18 tahun yang lalu, tepatnya 13 Agustus 2003, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) telah disepakati bersama oleh Pemerintah dengan DPR.
Kemudian telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR. Lalu ditandatangani oleh Presiden, dan dimuat dalam Lembaran Negara.
Setelah itu diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelahiran MK pada pasca Amandemen UUD 1945 membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik.
Di mana eksistensi MK bertugas secara khusus menjaga martabat UUD 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia.
“Sehingga, setiap tindakan yang berkaitan dengan konstitusi di uji secara khusus pula di MK,” ujar Hudson.
Selain itu, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (UI) ini melanjutkan, posisi MK dalam struktur kelembagaan Negara sebagai lembaga yang sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, MA dan KY, telah mempertegas bahwa MK adalah lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam koridor kewenangannya.
Pada awal pembentukannya sampai saat ini, lanjutnya, MK berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 junto Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, memiliki 4 wewenang dan 1 kewajiban.
Wewenang tersebut adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dengan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
“Selain itu, putusan dari Mahkamah Konstitusi pun bersifat final. Sehingga tidak bisa dilakukan upaya hukum lain,” imbuhnya.
Dari sejak berdiri tahun 2003 sampai dengan tahun 2021, MK telah menangani 1501 perkara pengujian Undang-Undang. Dengan amar putusan yang dikabulkan sebanyak 280, ditolak sebanyak 532, tidak diterima sebanyak 486.
Hudson melanjutkan, hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang sebagai corong hukum dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, juga memiliki potensi yang besar melanggar atau merugikan hak-hak konstitusional warga Negara.
“Maka dari itu, amatlah penting peran Mahkamah Konstitusi dalam rangka melindungi dan menjaga Hak-hak Konstitusional Warga Negara dari keberlakuan suatu ketentuan Undang-Undang,” lanjutnya.
Hudson menyampaikan, Indonesia juga perlu mengetahui Positive Legislature MK untuk Pengembangan Sistem Hukum Tata Negara.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dijelaskan, Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Salah satu caranya dengan rule breaking dalam konteks menempatkan keadilan di atas teks norma yang ada.
Putusan positive legislature sangatlah penting dalam pengembangan hukum ketatanegaraan ke depan.
“Hakim MK membuat putusan yang bersifat positive legislature sebagai perwujudan dari diskresi Hakim yang tidak dapat digolongkan sebagai intervensi terhadap ranah legislasi,” jelasnya.
Kekuatan mengikat putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa. Tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara atau interpartes.
Yaitu Pemohon, Pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diijinkan memasuki proses perkara, tetapi juga Putusan tersebut juga mengikat bagi semua orang, Lembaga Negara dan Badan Hukum dalam wilayah Republik Indonesia.
“Berlaku sebagai Hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat Undang-Hndang. Hakim MK dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang,” terangnya lagi.
Melalui putusan jenis positive legislature ini, lanjut Hudson, Hakim Konstitusi dapat melakukan inovasi, penemuan, dan terobosan dalam membuat putusan. Sepanjang putusan tersebut dilandasi argumentasi kuat untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat.
“Artinya, pelanggaran terhadap Undang-Undang sangat dimungkinkan, selagi pelanggaran itu dilakukan agar Putusan MK memenuhi keadilan substantif masyarakat dan mencegah terjadi kekacauan dalam masyarakat,” lanjutnya.
MK memiliki fungsi positive legislature dalam putusan-putusannya dapat di lihat pada tiga putusan MK.
Satu, Putusan MK Nomor 46/PUUVIII/2010 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974.
Dua, Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Tiga, Putusan MK Nomor : 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tentang Penghitungan Suara Pada Pemilu Legislatif 2009.
“Konsep positive legislature ini telah sesuai dan mencerminkan rasa keadilan berdasarkan argumentasi. Di mana, Putusan yang bersifat mengatur tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum, filosofis dan sosiologis yang tidak terlepas dari penafsiran hukum,” jelasnya.
Sedangkan mengenai Terobosan Putusan Ultra Petita, Hudson Hutapea menjelaskan, seorang Hakim dianggap ultra petita dapat ditentukan dengan dua batasan.
Pertama, dalam hal Hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut.
Kedua, dalam hal hakim meluluskan atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut.
Hudson mencontohkan, Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 merupakan terobosan, di mana Hakim Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan mengenai larangan putusan ultra petita yang termuat dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2011.
MK berpendapat bahwa format pembentukan MK dalam kewenangan pengujian Undang-Undang adalah untuk membenahi hukum.
“Termasuk membuat aturan baru yang dibutuhkan untuk dapat menutup kekosongan hukum yang terjadi,” jelasnya.
MK menilai, adanya larangan ultra petita akan membatasi Mahkamah memberikan keadilan substantif dan konstitusional. Karena MK berfungsi melindungi Hak-hak Konstitusional yang tidak hanya tertulis di teks Konstitusi UUD 1945, tetapi merujuk pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya atau implied values.
“Oleh karena itu, MK dalam perkara tertentu terkadang tidak hanya mempertimbangkan petitum yang disajikan oleh Pemohon semata,” ujarnya.
Dalam prateknya, lanjut Hudson Hutapea, telah ada beberapa Putusan MK yang mengandung muatan ultra petita.
Di antara Putusan-Putusan tersebut adalah, Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/ 2003, Perkara Nomor 007/PUUIII/2005, Perkara Nomor 003/ PUUIV/2006, Perkara Nomor 005/PUUIV/2006, dibacakan Perkara Nomor 006/PUU-IV/ 2006, Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Perkara Nomor 11- 14-21-126-136/PUU-VII/ 2009, dan lain sebagainya.
Dari beberapa Putusan yang dibahas tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya terdapat 4 kelompok pertimbangan hakim yang melandasi dibuatnya Amar Putusan Ultra Petita.
Satu, Bagian dari Undang-Undang (ayat, pasal, penjelasan, dan lain sebagainya) yang dari Undang-Undang, sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan, dan harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat seluruhnya.
Dua, Bagian dari undang- undang (ayat, pasal, penjelasan, dan lain sebagainya) yang diminta diuji berkaitan dengan pasal-pasal lainnya yang tidak dapat dipisahkan.
“Sehingga pasal yang berkaitan tersebut akhirnya dinyatakan tidak berkekuatan hukum juga,” jelasnya.
Tiga, demi menghindari kekacauan hukum, maka ditempuh penundaan keberlakuan mengikatnya putusan sambil menunggu dibentuknya aturan perubahan yang baru.
Empat, Pertimbangan Hukum MK dalam masalah ultra petita hanya dikaitkan dengan pertimbangan hukum pokok permohonan, bahkan tidak jarang terkesan muncul secara tiba-tiba.
“Terobosan MK dalam membuat putusan ultra petita pada prinsipnya adalah bentuk dari penegakan hukum yang progresif,” ujar Hudson.
Hudson melanjutkan, dalam konteks putusan ultra petita yang menguji UU Ketenagalistrikan misalnya, Hakim MK telah berani melakukan kreativitas dan rule breaking dalam menjadikan aturan lebih bermakna dan fungsional bagi terciptanya keadilan.
Akan tetapi, perlu digaris bawahi, bahwasanya kreativitas apa pun yang dilakukan oleh Penegak Hukum dapat menjadi tidak bermakna progresif, manakala tidak untuk mewujudkan keadilan substantif, menempatkan keadilan, kemanfaatan dan kebahagiaan manusia sebagai tujuan akhirnya.
“Karenanya, perubahan progresif atas Undang-Undang MK menjadi salah satu alternatif bagi terwujudnya penegakan hukum yang progresif,” sebutnya.
Kemudian, Hudson Hutapea menyoroti Kelemahan Putusan Bersyarat.
Putusan Konstitusional Bersyarat yakni, permohonan suatu undang-undang yang amarnya dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK.
Dikarenakan dalil Pemohon adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Maka tidak dapat dilakukan suatu pengabulan sesuai apa yang ada di surat permohonan oleh Pemohon.
Putusan MK Konstitusional Bersyarat pertama terdapat dalam putusan MK No. 58-59-60-63/PUU-II/2004 mengenai pengujian UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).
Dalam hal ini, walaupun putusannya ditolak, MK memasukkan klausul Konstitusionalitas Bersyarat.
Oleh karenanya, Undang-Undang SDA bersifat Konstitusional, sepanjang implementasinya Pemerintah wajib mengacu pada pertimbangan MK yang disampaikan dalam putusan MK tersebut.
Dalam syarat konstitusional putusan MK tersebut, selama UU SDA dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban Negara dalam HAM yakni, menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fulfil) Hak Warga Negara atas air.
Sedangkan Inkonstitusional Bersyarat Putusan MK, ketika permohonan tersebut dikabulkan, di mana pasal yang dimohonkan oleh Pemohon adalah benar ternyata melanggar atau tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Namun kemudian, demi kepentingan dan ketertiban umum, MK akan menyatakan hal ini sebagai Inkonstitusional Bersyarat,” lanjutnya.
Putusan MK Inkonstitusional Bersyarat yang terbaru dan penuh perdebatan panas di publik yaitu Putusan No 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Cipta Kerja.
Hakim MK menyatakan, pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan’.
“MK menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun,” tandas Hudson Hutapea.(J-RO)