Hentikan Penuntutan 13 Perkara, Jampidum Fadil Zumhana Kembali Geber Pelaksanaan Keadilan Restoratif

Hentikan Penuntutan 13 Perkara, Jampidum Fadil Zumhana Kembali Geber Pelaksanaan Keadilan Restoratif

- in DAERAH, EKBIS, HUKUM, NASIONAL, PROFIL
1000
0
Hentikan Penuntutan 13 Perkara, Jampidum Fadil Zumhana Kembali Geber Pelaksanaan Keadilan Restoratif. - Foto: Dr Fadil Zumhana, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum).(Net)Hentikan Penuntutan 13 Perkara, Jampidum Fadil Zumhana Kembali Geber Pelaksanaan Keadilan Restoratif. - Foto: Dr Fadil Zumhana, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum).(Net)

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum), Dr Fadil Zumhana kembali menghentikan penuntutan terhadap sebanyak 13 perkara berdasarkan Keadilan Retoratif atau Restorative Justice. 

Pada Senin 07 Maret 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 13 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. 

Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh (Kajati Aceh), Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajatisu), Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Kalimantan Tengah (Kajati Lampung Tengah), Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kajati Jatim), Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kajati Sulteng), dan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku (Kajati Maluku), dan Para Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan Restorative Justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda. 

“Ada 13 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif,” ujar Jampidum, Dr Fadil Zumhana, dalam siaran pers yang diterima Selasa (08/03/2022). 

Ketiga belas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif itu adalah: 

Satu, Tersangka Ramadhan alias Kana Bin Nanang (Alm) dari Cabang Kejaksaan Negeri Kapuas di Palingkau, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. 

Dua, Tersangka Siti Mina Ohorela Alias Mina dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 

Tiga, Tersangka Mahat Bin Darlin dari Kejaksaan Negeri Kapuas, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. 

Empat, Tersangka Samsul Arifin S.Pd Bin Harun dari Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. 

Lima, Tersangka A’an Puji Utomo Bin Kamadi dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. 

Enam, Tersangka Iskil Jamal Bin Moh Holil dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. 

Tujuh, Tersangka Dian Putri Kumala Binti Mulyono dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun, yang disangka melanggar Pasal 310 ayat (3) Sub pasal 310 ayat (2) UU RI No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 

Delapan, Tersangka Satu, Budi Iskandar Alias Budin Bin Alm Efendi, dan Tersangka Dua Ledy Darmawan Alias Manjo Bin Alm Rusli Efendi dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan. 

Sembilan, Tersangka Satu Hermansyah Alias Herman Bin Alm Ali Nur, Tersangka 2 Nurhakim Alias Hakim Bin Alm Abdul Ganisam, dan Tersangka 3 Suci Agusriani alias Uci Binti Hasan Basri Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan. 

Sepuluh, Tersangka Armiadi Bin Alm Rusli dari Kejaksaan Negeri Sabang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. 

Sebelas, Tersangka Pilemon Ambo alias Papa Risda dari Kejaksaan Negeri Poso, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. 

Dua belas, Tersangka Muhammad Halomoan Harahap dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. 

Tiga belas, Tersangka Pendi Sianturi dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. 

Jampidum Fadil Zumhana merinci, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan karena: 

Satu, para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum. 

Dua, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. 

Tiga, telah dilaksanakan proses perdamaian, di mana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. 

Empat, Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. 

“Juga karena alasan sosiologis, serta masyarakat merespon positif,” tutur mantan Sesjampidsus ini. 

Selanjutnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr Fadil Zumhana mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam upaya perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal, atau mediasi di luar pengadilan antara Tersangka dan Korban, sehingga tidak perlu sampai ke Persidangan. 

“Upaya tersebut mempertimbangkan syarat formil dan materiil serta aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis,” tutur mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kajati Kaltim) ini. 

Mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung (Dirdik) ini juga menyampaikan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban, dan masyarakat atau pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil, dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 

“Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan,” jelas Jampidum Fadil Zumhana. 

Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022. “Sebagai perwujudan kepastian hukum,” tandas Fadil Zumhana.(JRO) 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Laskar Anti Korupsi Indonesia Kecam Ketidakadilan di Pemkab Karo: ASN Tak Terima Gaji Selama ± 24 Bulan

Jakarta– Di tengah kesulitan hidup yang semakin berat,