Hati-hati, rencana memberikan subsidi gaji sangat rentan diselewengkan. Selain itu, subsidi gaji ini juga bisa menimbulkan kecemburuan sosial.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) berpendapat, wacana pemberian bantuan Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan bagi pekerja, harus diwaspadai dengan seksama.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Misbah Hasan, meminta Pemerintah dan semua pihak untuk nantinya memastikan pengadaan Subsidi Gaji itu tepat sasaran dan tepat guna.
“Sebenarnya ini kebijakan yang bagus, tapi sangat rentan terhadap ketidaktepatan sasaran dan kecemburuan sosial,” ujar Misbah Hasan, Senin (10/08/2020).
Dari kajian yang dilakukan Seknas Fitra, lanjutnya, skema ini bagus untuk melindungi pekerja formal dan informal, dan membantu perusahaan tetap berjalan, serta tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kerentanannya atau potensi masalahnya ada pada data pekerja yang menjadi dasar pemberian bantuan yang akan berbasis data peserta BPJS Ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Kerentanan itu terjadi karena, pertama, banyak perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi ada potensi banyak pekerja yang mestinya harus menerima tapi justru tidak menjadi sasaran program karena tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan atau exclution error data,” lanjut Misbah Hasan.
Kedua, selama ini umum diketahui adanya praktek perusahaan sering melaporkan gaji karyawannya di bawah nilai gaji sebenarnya, untuk tujuan mengurangi nilai kewajiban pembayaran iuran BPJS.
“Artinya, ada potensi penerima bantuan ini justru mereka yang pendapatannya sebenarnya sudah tinggi atau di atas Rp 5 juta, bukannya mereka yang belum terdaftar di BPJS,” jelasnya.
Kerentanan lain, lanjutnya, yang mendapat support anggaran ini adalah pekerja-pekerja di perusahaan besar yang selama ini mengemplang pajak. Atau, perusahaan yang dengan skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga mendapat keringanan pajak, dana talangan, dan lain-lain.
“Jadi untung dobel. Lobi-lobi pengusaha besar juga bisa terjadi agar pekerjanya diprioritaskan mendapat support dana ini,” katanya.
Mengingat besarnya potensi salah sasaran terkait validitas data tersebut, Misbah Hasan meminta Pemerintah bisa mencari cara untuk mendapatkan data yang lebih mendekati kondisi sebenarnya.
Data kepesertaan BPJS bisa jadi rujukan umum, namun sebaiknya disertai dengan langkah untuk melakukan verifikasi dan validasi ke perusahaan-perusahaan.
“Atau cara lain, membuka peluang bagi perusahaan untuk melaporkan data pekerja mereka yang pendapatannya di bawah Rp 5 juta,” lanjutnya.
Manager Advokasi Seknas Fitra, Ervyn Kaffah menambahkan, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang bergaji di bawah Rp 5 juta ada 13,8 juta pekerja. Menurutnya, data ini perlu dilakukan verifikasi dan validasi.
“Langkah lain yang adalah membangun komunikasi dengan serikat pekerja dan serikat buruh untuk pendataan, pengaduan, pengawasan pekerja yang berhak, namun belum masuk daftar penerima,” ujar Ervyn.
Berikutnya, kata dia, harus ada posko atau centra pengaduan bagi pekerja formal dan informal yang dirugikan, yang seharusnya masuk daftar tapi tidak terdaftar atau sebaliknya.
Anggaran sebesar Rp33,1 triliun yang rencananya disediakan, menurut Ervyn, sebenarnya relatif kecil, hanya 0,01 persen dari total APBN 2020.
“Di tengah kebingungan Pemerintah melakukan percepatan penyerapan anggaran, program semacam ini bisa menjadi terobosan alternatif, dibanding digunakan untuk Perjalanan Dinas,” tandasnya.(JR)