Buruh Migran Indonesia Tidak Tahu Ada BPJS, Kok Bisa!

Buruh Migran Indonesia Tidak Tahu Ada BPJS, Kok Bisa!

- in NASIONAL
626
0
Gawat, Buruh Migran Indonesia Di Hong Kong Tidak Tahu Ada BPJS.

Para Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong tidak tahu ada jaminan sosial berupa program yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bagi mereka.

 

Paling tidak, hal itu tergambar dari pertemuan yang diikuti oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.

 

Timboel membeberkan, saat dirinya menghadiri undangan organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong pada hari minggu lalu, ada pengalaman tersendiri untuk bisa memahami masalah jaminan sosial bagi BMI.

 

Timboel mengungkapkan, banyak masalah yang muncul ketika asuransi BMI dikelola oleh konsorsium asuransi swasta. Dari masalah konseptual hingga teknis pelaksanaan di lapangan terpaparkan oleh BMI ketika berdiskusi dalam forum seminar yang diselenggarakan di Rayson Huang Theatre, Main Campus, Hong Kong University itu.

 

“Beberapa masalah dan harapan BMI di Hongkong terkait jaminan sosial yang baru antara lain tentang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 7 Tahun 2007 tentang Jaminan Sosial Bagi BMI,” ujar Timboel, di Jakarta, Rabu (23/08/2017).

 

Dia merinci, persoalan jaminan sosial bagi buruh migran yakni, pertama, ketika menginformasikan tentang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 7 Tahun 2007 tentang Jaminan Sosial Bagi BMI kepada para buruh migran di Hong Kong, sebagian besar tidak tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan.

 

“Kalau pun tahu, yang mereka tahu adalah BPJS Kesehatan,” ujarnya.

 

Secara umum, lanjut dia, respon para BMI tentang regulasi baru ini biasa-biasa saja, karena mereka belum tahu, dan kalau pun ada yang tahu–terutama pengurus organisasi BMI-maka respon yang diberikan malah negatif.

 

Kedua, masalah utama bagi BMI adalah ketidaktahuan mereka tentang jaminan sosial tersebut serta manfaatnya.

 

Selama ini, lanjut Timboel, di era konsorsium asuransi swasta, tidak ada pengetahuan dan informasi tentang asuransi itu, sehingga BMI tidak mengetahuinya secara pasti.

 

“Yang mereka tahu adalah bayar 400 ribu rupiah sebagai syarat berangkat, bukan tentang jaminan sosial. Kalau pun mereka belum bayar ketika berangkat maka pembayarannya diambil dari potongan upah BMI selama 6 bulan,” ujarnya.

 

Kemudian, ketika para calon buruh migran berada di tempat penampungan sebelum berangkat, mereka tidak menerima sosialisasi, sehingga mereka tidak tahu hak-hak mereka.

 

“Mereka hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh orang PT (sebutan untuk orang PJTKI). Tidak pernah tahu  tentang polis asuransi, tidak tahu manfaat yang didapat serta tidak tahu proses klaimnya apalagi dokumen-dokumen dipegang oleh PT,” ujarnya.

 

Dalam pertemuan di Hong Kong itu, lanjut Timboel, para buruh migran Indonesia banyak yang menantang dan bertanya, apa BPJS Ketenagakerjaan mau pro aktif melakukan sosialisasi langsung kepada BMI sebelum berangkat atau sosialisasi di negara penempatan atau sosialisasi melalui media cetak, televisi, radio atau selebaran? Apa BPJS TK akan sama saja dengan konsorsium asuransi swasta?

 

“Kalau iya, berarti tidak ada perubahan untuk mendukung kesejahteraan BMI,” terangnya.

 

BMI berharap, BPJS TK pro aktif melalukan sosialisasi, memberikan kartu kepesertaan langsung kepada mereka, memberikan buku petunjuk sehingga bila terjadi masalah dari mulai sebelum, saat penempatan maupun paska penempatan, maka para BMI akan dengan mudah mendapatkan manfaatnya.

 

Ketiga, banyak terjadi masalah dengan dokumen-dokumen BMI pada saat mau klaim.

 

“Mereka bilang dokumen sering dipalsukan sehingga tidak bisa mengklaim, apalagi polis asuransi dan dokumen  dipegang PJTKI,” ungkap Timboel.

 

Terkait dokumen palsu, lanjutnya, selama ini mereka tidak tahu, karena yang mengurus asuransi swasta selama ini adalah PJTKI, sementara BMI tidak disertakan.

 

Bila dalam Permenaker Nomor 7 tahun 2017 disebutkan PJTKI yang mendaftarkan ke BPJS TK pada saat awal maupun perpanjangan, maka mereka khawatir dokumen-dokumen akan dipalsukan juga sehingga mereka nanti sulit mengklaim.

 

“Memberikan peran utama kepada PJTKI dalam proses-proses itu akan berpotensi mempersulit BMI,” ujarnya.

 

Keempat, BMI di HongKong menyesali isi Permenaker nomor 7 tahun 2017 yang hanya memuat program jaminan sosial sebatas Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Hari Tua (JHT), sementara manfaat lainnya seperti penganiayaan, gagal berangkat, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemerkosaan dan lain sebagainya, yang sebelumnya di-cover oleh Permenakertrans Nomor 1 tahun 2012, ternyata tidak ada di Permenaker Nomor 7 tahun 2017.

 

Timboel menyampaikan, para BMI tetap meminta agar pemerintah tidak mengurangi hak-hak jaminan sosial mereka sesuai Permenakertrans Nomor 1 tahun 2012.

 

“Revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 diharapkan bisa memuat jaminan sosial yang ada di Permenakertrans Nomor 1 tahun 2012 itu,” ujarnya.

 

Kelima, Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang diatur dalam PP Nomor 44 tahun 2015 tidak disertakan di Permenaker Nomor 7 tahun 2017, sehingga BMI tidak mendapatkan PAK.

 

“Padahal banyak BMI mengalami sakit akibat kerja yang diketahui setelah pulang dari luar negeri,” ujar Timboel.

 

Tentunya, lanjut dia, harapan para BMI tersebut adalah hal yang baik, yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah dan BPJS TK sehingga jaminan sosial menjadi kebutuhan mereka dan tumpuan bagi BMI untuk meningkatkan kesejahteraan BMI.

 

“Jangan jadikan jaminan sosial sebagai basa basi semata, hanya sebagai sarana mengumpulkan dana BMI tanpa mampu meningkatkan kesejahteraan BMI,” pungkas Timboel.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset