Para pekerja media dan pers mengalami ancaman yang serius sepanjang tahun 2016. Hal itu terungkap dalam catatan akhir tahun yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) di Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Nawawi Bahrudin menyampaikan, sepanjang kurun waktu tahun 2016 yang dilakukan oleh LBH Pers, dari hasil advokasi litigasi dan non litigasi dengan melakukan pantauan perkembangan pers, tercatat bahwa pers masih menjadi target ancaman.
“Kasus-kasus pers semakin meningkat, gugatan dan tuntutan pidana atau kriminalisasi kepada jurnalispun semakin meninggi sampai pada kekerasan atas pers. Belum lagi ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara membungkam melalui gugatan hukum dan kriminalisasi pers yang tujuannya membungkam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan menyatakan pendapat,” ujar Nawawi Bahrudin.
Dikatakan Nawawi, adapun kasus yang didampingi oleh LBH Pers sepanjang 2016, secara keseluruhan berjumlah 33 kasus, yang diantaranya 8 Kasus Perdata, 15 Kasus Pidana dan 10 kasus Sengketa Ketenagakerjaan.
Sepanjang tahun 2016, LBH Pers mencatat sedikitnya telah terjadi 83 kasus kekerasan dan korban kekerasan adalah seorang jurnalis. Rata -rata dari mereka menjadi korban kekerasan saat bertugas meliput sebuah peristiwa di lapangan.
Dari segi locus atau tempat kejadian, lanjut Nawawi, paling banyak terjadi di daerah DKI Jakarta sebanyak 15 kasus, di Jawa Barat sebanyak 14 kasus dan Jawa Timur 8 kasus.
Sedangkan dari kategori pelaku kekerasan, lanjut dia, pelakunya paling banyak adalah Polisi yakni sebanyak 16 kasus, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Massa tak dikenal berjumlah 12 Kasus dan Petugas Keamanan Swasta 10 Kasus.
Untuk kategori kekerasan fisik dan non-fisik yang paling banyak dialami oleh jurnalis adalah pelarangan liputan atau pengusiran berjumlah 25 kasus, penganiayaan berjumlah 26 kasus dan bentuk ancaman/teror berjumlah 12 kasus.
“Kasus yang kami anggap paling brutal menimpa jurnalis perempuan dari media online di Medan. Masih di Sumatera, kekerasan jurnalis media online di Riau (Zuhdy) dengan dugaan pelaku adalah anggota kepolisian. Sampai saat inipun kasusnya masih belum ada perkembangan.Dan tidak lebih dari 2 pekan terakhir, sedikitnya 4 jurnalis diintimidasi saat melakukan liputan di Wamena Jayapura dan Papua menjadi tempat yang rawan untuk para jurnlis menjalankan pekerjaannya,” urainya.
Selain itu, lanjut Nawai, LBH Pers melihat ada potensi kekerasan yang meningkat pada saat pemilukada di tahun 2017.
“Kekerasan bisa terjadi karena media menyoroti beberapa calon dan dianggap suatu hambatan oleh para pendukung salah satu calon,” ujarnya.
Terkait masa depan penyiaran di Indonesia, LBH Pers menyoroti adanya pertaruhan yang tidak mudah. Dari catatan yang dimiliki LBH Pers, ada sejumlah persoalan dalam hal perizinan penyiaran di Indonesia.
Pertama,penyelenggaraan EDP yang dilakukan KPI tidak mencerminkan fungsi KPI sebagai wujud peran serta masyarakat untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Kedua, penerapan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bagi 10 Lembaga Penyiaran Swasta (existing). Ketiga, Rekomendasi Kelayakan yang diberikan KPI diduga kuat tidak diberikan berdasarkan evaluasi dan penilaian terhadap sanksi yang selama 10 tahun terakhir dikenakan kepada LPS, serta jumlah konten iklan komersial sebanyak 20 persen dan iklan layanan masyarakat sebanyak 10 persen, diduga kuat karena ketidaklengkapan data KPI terkait data pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran swasta.
LBH Pers juga menyoroti kesejahteraan jurnalis yang selalu diabaikan. Menurut Nawai, jurnalis adalah selayaknya pekerja yang juga mempunyai hak minimal yaitu sesuai dengan standar undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia.
Dia mengatakan, PHK dan ditinggalkan pemilik perusahaan media masih mewarnai tahun 2016. Kasus yang saat ini ditangani adalah kasus sengketa tenaga kerja dan juga pidana perburuhan adalah kasus jurnalis Indonesia Finance Today.
“Sedikitnya yang mengadu dan menandatangi kuasa kepada LBH Pers berjumlah 17 orang. Adapun proses upaya hukumnya saat ini sudah kepada tripatit yang ke tiga di Sudinakertrans Jakarta Selatan, namun sayangnya sampai detik ini pihak perusahaan enggan menghampiri jurnalis atau pekerja dan kuasa hukumnya untuk menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin mengulas mengenai kebebasan berekspresi. Menurut Asep, Undang Undang ITE sampai saat ini sangat bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi.
Dijelaskan Asep, cita-cita untuk memiliki perlindungan hukum terkait tata kelola internet yang paripurna kembali gugur. Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seharusnya menjadi momentum perubahan untuk menciptakan regulasi pemanfaatan teknologi yang berperspektif hak asasi manusia, justru membatasi aktivitas masyarakat sipil di dunia maya.
Meskipun telah melalui dua kali rapat kerja dan lima kali rapat panitia kerja komisi 1 DPR, Pembahasan RUU Perubahan ITE masih menghasilkan regulasi yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi pengguna internet dan kemunduran dalam hukum acara pidana.
“Namun poin perubahan RUU ITE sejatinya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan dukungan atas pertumbuhan informasi dan teknologi digital. Hasil akhir amandemen tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan inti yang lahir dari UU ITE hari ini,” ujarnya.
Dalam kasus yang ditangani oleh LBH Pers, yaitu pemblokiran suarapapua.com yang sekitar tanggal 4 November 2016 diblokir, menurut Asep, hal ini diakui oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo telah memblokir sedikitnya 11 website yang dianggap mengandung SARA.
Berkaitan dengan pemutusan akses internet tersebut, pihak dari suarapapua.com tidak mendapatkan sedikitpun informasi atau pemberitahuan resmi apa yang telah terjadi dengan situs suarapapua.com.
bahkan, sepanjang 2016, lanjut dia, pelarangan dan pembubaran ekspresi masyarakat marak terjadi. LBH Pers mencatat ada lebih 72 kasus pelanggaran Hak Berkumpul.
“Pelaku terbanyak adalah aparat penegak hukum. Kelompok yang paling sering menjadi korban pelanggaran hak berkumpul adalah kelompok LGBTI, kelompok yang mengusung penyelesaian kasus 65 dan Papua. Tindakan yang dilakukan oleh para pelaku baik oleh pihak kepolisian maupun oleh organisasi massa lainnya yakni seperti pelarangan acara, intimidasi, pembubaran paksa, penggeledahan ilegal, perusakan alat, pembredelan, dan penangkapan,” ujarnya.
Tidak berhenti sampai disitu, Asep mengingatkan agar semua pihak melakukan monitoring terhadap pembahasan Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Menurut dia, banyak pasa di dalam RKUHP yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, seperti pasal 328 dan 329 tentang contempt of court, 284 tentang penghinaan terhadap pemeritahan, 290 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum, pasal 302 tentang penyadapan, pasal 309-310 tentang penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti, pasal 348-349 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 381 tentang mengakses computer atau sistem elektronik tanpa hak, pasal 407 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 469-473 tentang pelanggaran kesusilaan di muka umum, pasal 481 tentang mempertunjukan pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan , pasal 541-548 tentang penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah, pasal 551 tentang Tindak Pidana Pembocoran rahasia , pasal 644 tentang Penyiaran Berita bohong untuk keuntungan, dan pasal 771 tentang Tindak pidana penerbitan dan percetakan.
“Berdasarkan beberapa penilaian kami tentang kebebasan pers dan kebebasan berkepresi, kami Lembaga Bantuan Hukum Pers mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk memerintahkan kepada jajarannya terkait pentingnya kebebasan pers dan perlindungan jurnalis bagi negara demokrasi khususnya Indonesia. Dan memerintahkan kepada Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk menindak tegas pelaku penghalang-halangan terhadap jurnalis yang sedang melaksanakan peliputan dan memberikan perlindungan pada saat jurnalis melakukan kerja jurnalistikanya,” ujar Asep.
Kemudian, LBH Pers juga meminta anggota DPR RI untuk lebih teliti dan hati-hati dalam membahas peraturan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan berekpresi, karena seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa kebebasan pers adalah syarat mutlak untuk negara demokrasi.
“Kita juga mendesak Kapolri beserta jajarannya untuk mematuhi Nota kesepahaman Kapolri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan Media. Menghimbau kepada masyarakat umum untuk mempergunakan Undang Undang Pers jika merasa dirugikan oleh pemberitaan di media,” ujarnya.
Asep juga menghimbau agar para Jurnalis senantiasa memenuhi standar kode etik jurnalistik dalam setiap aktivitas jurnalistiknya. “Serta menghimbau kepada perusahaan media untuk memberikan perlindungan kepada para jurnalisnya di lapangan dan memberikan hak-hak terhadap para jurnalis dan pekerjaannya sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan,” pungkasnya.(JR)