Di era pemerintahan Jokowi, kaum buruh banyak mengalami kriminalisasi. Kriminalisasi gerakan buruh dilakukan dengan mempergunakan perangkat hukum dan aparatur negara.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) Arief Poyuono di Jakarta, Senin (02/05/2016).
Menurut Arief, hari buruh sedunia yang sudah dijadikan Hari libur Nasional diera SBY merupakan sejarah besar dalam Perjuangan kaum Buruh dan Pekerja Indonesia.
“Artinya, secara politik dan sosial, buruh menjadi salah satu tambahan Pilar dalam negara Demokrasi selain kekuasaan Eksekutive ,Legislative ,Yudikative dan Media. Namun sayangnya, upaya kriminalisasi terhadap buruh sangat banyak terjadi,” papar Arief.
Menurut dia, berbagai kebijakan di era Jokowi ini, justru tidak memberikan harapan bagi kesejahteraan dan upah yang layak bagi buruh. Malah, dengan upaya menciptakan paket-paket ekonomi yang menjadikan buruh buruh asing unskill yang ilegal menikmati kue pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Yang pada akhirnya mengurangi kesempatan kerja bagi angkatan kerja baru dan PHK bagi buruh serta makin menurunkan upah buruh akibat TKA unskill yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, kebijakan Jokowi yang mengarah pada pemberlakuan upah murah juga tertera dalam kebijakan kawasan ekonomi khusus (KEK), yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid keenam. Kebijakan yang diterapkan, lanjut Arief, pemerintah hanya mengakui satu serikat buruh/ pekerja dalam dewan pengupahan dan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit di wilayah KEK tersebut. “Itu merupakan bagian dari cara-cara untuk menetapkan upah murah dan melestarikan sistim kerja kontrak.”
Upaya mematikan perjuangan buruh, lanjut Arief, pada rezim Jokowi-JK, juga sudah mengunakan aparat penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap Pengurus Serikat Pekerja. Seperti kriminalisasi terhadap 23 pengurus serikat buruh, 2 pengacara publik dan seorang mahasiswa yang melakukan penolakan upah murah tahun lalu.
Begitu juga terhadap nasib TKI di luar negeri, lanjut dia, yang nasibnya dan perlindungannya masih minim di era Jokowi- JK. Saat ini, menurut Arief, para TKI di luar negeri diperlakukan dan mengarah pada perbudakan.
“Yaitu banyak TKW Indonesia dieksploitasi dengan direkrut dan ditempatkan oleh para agen yang menyita dokumen dan memberlakukan potongan yang besar atas gaji yang mereka dapatkan dari majikan. Padahal sebelumnya para tenaga kerja asal Indonesia itu diimingi janji palsu berupa gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik,” ungkap dia.
Proses ini, kata Arief, sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa, karena para TKW Indonesia itu tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumen mereka disita.
Kebijakan Jokowi -JK terkait Investasi di Indonesia, lanjutnya, juga makin mempermudah TKA unskill untuk bekerja di Indonesia, seperti menyetujui Investor Cina yang berinvestasi di Indonesia, diberikan kemudahan untuk mengerjakan proyek investasinya dengan mengunakan tenaga kerja dari Cina.
“Hal ini saja bohong karena Investasi Asing dari Cina tidak memberikan dampak apapun terhadap terbukanya lapangan kerja bagi WNI,” kata Arief.
Serbuan TKA ini sedang terjadi. Dikatakan Arief, hal ini sesuai dengan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, adanya lonjakan signifikan terhadap jumlah pekerja asing paruh waktu yang masuk ke Indonesia pada awal tahun 2016.
Dan ini bukti bahwa di saat pemerintah Jokowi gagal menambah jumlah lapangan kerja secara signifikan, justru paket kebijakan ekinomi makin mendukung kehadiran para pekerja asing yang jumlahnya sudah ratusan ribu TKA sejak Pemerintahan Jokowi.
“Hal ini tentu akan berdampak tidak baik dalam kehidupan sosial. Semakin banyak WNA yang bekerja di Indonesia, semakin banyak pengangguran di tanah air,” ujarnya.
Terkait kebijakan Jokowi dalam memberdayakan BUMN sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, ditegaskan Arief, justru ada tendensi Jokowi lewat Meneg BUMN ingin mengobral murah mesin-mesin ekonomi ( BUMN) ke Asing. Upaya ini membahayakan kedaulatan Ekonomi Indonesia, misalnya menjadikan Bank BUMN sebagai jaminan utang pada Cina Development Bank sebesar 4,5 miliar dolar amerika, yang ternyata digunakan untuk menutupi hutang-hutang konglomerat yang mengalami default di Bank luar negeri akibat pinjaman dalam dolar amerika, seperti dipinjamkan pada Medco dan Sinar Mas.
Kemudian, lanjut dia, rencana holdingisasi BUMN yang akan mencatatkan obligasi Holding BUMN di pasar modal, adalah sebagai suatu cara untuk mempermudah Obral Aset Negara oleh Meneg BUMN. Sebab, jika default membayar obligasi saham, holding BUMN disita oleh pemegang obligasinya.
“Karena itu, pada mayday 2016 ini, kami mendesak Jokowi-JK untuk melakukan reshuffle kabinet terhadap menteri-menteri yang akan menjerumuskan Jokowi sebagai Presiden anti buruh, serta Presiden importir buruh asing, serta penjual aset BUMN,” ujar Arief.
Dia juga menegaskan, agar Majelis Hakim PN Jakarta Pusat untuk mengabulkan tuntutan bebas bagi pengurus buruh, lawyer dan mahasiswa korban kriminalisasi aparat hukum.
Arief menolak obral aset BUMN dengan kedok holdingisasi BUMN, dan proyek-proyek infrastrutur seperti Proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung yang akan merugikan Negara tariliunan Rupiah.
“Kami juga menolak pemberlakuan Undang Undang Tax Amnesty yang sarat melanggar konstitusi. Itu menciptakan rasa ketidakadilan bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang patuh membayar pajak, serta sebagai bentuk pengampunan bagi koruptor pemilik aset di luar negeri, dan para pengemplang paja,k serta pengemplang BLBI,” pungkas Arief.
Menanggapi tuntutan buruh, Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai, segala tuntutan yang disampaikan akan menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab, kebijakan pemerintah tidak hanya untuk orang yang sudah bekerja, namun yang sama sekali belum mendapat pekerjaan atau pengangguran.
“Serikat pekerja menuntut sesuatu ya nggak mesti diikuti dong. Kita harus pertimbangkan kira-kira itu menambah orang bekerja apa tidak,” ujar Darmin di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Minggu (1/5/2016).
Menurut dia, persoalan ini tidak hanya terkait dengan buruh, namun juga investor yang merupakan pemberi kerja. Pemerintah harus menyiapkan regulasi yang diterima oleh kedua pihak, yang artinya tidak boleh ada satu pun yang dirugikan.
Bila dipaksakan mengikuti semua tuntutan dari para buruh, lanjut dia, maka pihak pemberi kerja akan merasa dirugikan. Selanjutnya yang terjadi, perusahaan menjadi tidak produktif dan menghentikan ekspansi. Tanpa ekspansi artinya tidak ada lapangan kerja baru.
“Ini kan masing-masing tidak ada yang boleh menang sendiri di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu. Sehingga pemerintah itu konsen mengenai buruh, tapi juga mengenai orang yang belum bekerja,” ujar Darmin.(JR-1)