Pro kontra Revisi Undang-Undang Pertanahan harus dihentikan. Sebab, rencana pengesahan revisi undang-undang ini dipaksakan, dan malah isinya melenceng dari tujuan Reforma Agraria.
Karena itu, revisi UU Pertanahan ini tidak karu-karuan, dan Indonesia tidak membutuhkan revisi undang-undang yang jadi aneh seperti itu.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Terbatas Pergerakan Tani Muda Indonesia (Petani) dengan tema RUU Pertanahan: Mempertanyakan Komitmen Reforma Agraria Jokowi, yang digelar di Salemba Coffee and Ramen, Salemba Tengah, Jakarta Pusat, Senin (23/09/2019).
Koordinator Nasional Pergerakan Tani Muda Indonesia (Petani) Muhammad Risal menyampaikan, ketimpangan pemilikan lahan, konflik agraria sampai pada alih fungsi lahan pertanian, adalah persoalan yang tak kunjung diselesaikan oleh negara.
Risal yang juga Bendum PB PMII ini menyayangkan hadirnya Revisi UU Pertanahan yang akan dipaksakan untuk diketok palu di DPR.
“Revisi Undang-Undang Pertanahan itu tidak menjawab persoalan. Saya melihat revisi UU itu justru semakin melanggengkan penguasaan tanah oleh segelintir orang. Juga semakin membuat gap kepemilikan lahan semakin lebar,” ujar Risal.
Dalam pemaparannya, Ketua DPP Petani NasDem Syaiful Bahari mengingatkan, Reforma Agraria adalah basis dasar membangun eknonomi negara.
Untuk itu, melihat agraria tidak hanya dari sisi hukum saja. Tetapi yang paling penting adalah politik agraria dan politik pembangunan ekonomi nasional.
“Harus ada keberpihakan. Masalah agraria tidak bisa diselesaikan dengan hanya pendekatan hukum tetapi dibutuhkan politik agraria yang muaranya adalah distribusi aset ekonomi,” ujarnya.
Menurut Syaiful, secara subtansi Revisi Undang-Undang Pertanahan tidak perlu. Sebab, revisi itu hanya menyajikan politik administrasi agrarian. “Bukan politik agrarian sebenarnya,” ujarnya.
Syaiful justru melihat, cukup dengan Kepres Percepatan Reforma Agraria sebagai landasan operasional UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 dan TAP MPRI No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, untuk menjalankan Reforma Agraria yang sudah dimulai oleh Jokowi.
Misalnya, dalam Kepres tersebut mengatur pemberian lahan bukan secara individu tetapi badan usaha atau kelompok.
Syaiful menyarankan, untuk bisa mensukseskan kebijakan land reform, diperlukan administrasi pertanahan yang rapi.
“Jadi harus dibangun sistemya. Selain itu perlu juga audit tanah-tanah di Indonesia, sehingga bisa diketahui titiknya dimana saja dan siapa saja pemegang hak usaha atau hak pakainya. Termasuk lahan-lahan yang di bawah penguasaan PTPN,” ujarnya.
Sementara itu, aktivis Rumah Tani Indonesia (RTI) Muhammad Irvan Mahmud Asia menilai, revisi Undang-Undang Pertanahan ini tidak mampu menjawab persoalan ril. Terutama permasalahan ketimpangan agraria dan konflik tanah di masyarakat.
Irvan mencontohkan, keberadaan Bank Tanah dalam revisi Undang-Undang Pertanahan, hanya instrumen yang didesain untuk kepentingan land market.
Land bank hanya akan mengakomodir dan memudahkan kepentingan pengusaha untuk mendapatkan izin usaha.
“Dalam Revisi Undang-Undang Pertanahan ini, negara juga membatasi masyarakat untuk mendapatkan informasi publik mengenai data HGU. Yang justru ini bertentangan dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung,” tutur Irvan.
Selain itu, lanjutnya, ada hal yang salah kaprah, yang fatal, dimana reforma agrarian dalam revisi undang-undang pertanahan ini disederhanakan hanya dengan penataan aset dan akses.
“Padahal, reforma agraria yang dirindukan oleh publik adalah penataan ulang struktur agraria yang dimulai dari prinsip, mekanisme dan pendanaannya,” ujar Irvan.
Diskusi menghadirkan Ketua DPP Petani NasDem Syaiful Bahari dan aktivis Rumah Tani Indonesia (RTI) Muhammad Irvan Mahmud Asia, sebagai narasumber. Diskusi diikuti aktivis mahasiswa, aktivis agraria dan umum.(JR)