Para driver transportasi online menuntut aplikator atau penyedia aplikasi digital untuk menghentikan penghisapan.
Aktivis Sosial Kemasyaratan Alexander AS mengungkapkan, pihaknya bersama para driver mengendus adanya konspirasi kepentingan mengatasnamakan kesejahteraan bagi driver online.
“Padahal, yang terjadi justru penghisapan. Penghisapan ini harus dihentikan,” tutur Alexander, dalam siaran persnya, Senin (02/04/2018).
Kepala Divisi Paralegal DPP Asosiasi Driver Online (ADO) ini mengatakan, driver online juga mengendus adanya permufakatan jahat perusahaan penyedia aplikasi, kartel transportasi darat dan politisi rakus yang menunggangi perjuangan driver online.
“Konspirasi jahat ini bertujuan memberangus driver online dan individu-individunya,” ujar Alex.
Dia memaparkan, cita-cita kemandirian atau prinsip kemitraan, serta kesejahteraan akan menjauh manakala driver online tidak lebih sebagai buruh yang melayani kepentingan kapital sang majikan.
Saat ini, lanjut dia, perusahaan penyedia aplikasi saja sudah mengangkangi prinsip kemitraan.
“Tidak transparan, hilangnya prinsip kebebasan dan kesetaraan dalam ikatan perjanjian atau kesepakatan. Tidak menjunjung tinggi prinsip hak dan kewajiban, serta distribusi keadilan bagi driver online,” ujarnya.
Perusahaan penyedia aplikasi juga sekaligus sebagai penyelenggara angkutan umum. Menurut Alex, hal itu tentu berperan sebagai majikan yang menghisap buruhnya.
Mestinya, driver online diperlakukan sebagai pelaku usaha bisnis jasa transportasi yang mandiri, dengan modal kendaraan sendiri dan syarat kelengkapan mengemudi lainnya. Mereka harusnya dalam posisi bekerja sama dengan perusahaan penyedia aplikasi dengan legal standing yang sama.
Namun faktanya, kata Alex, driver online diatur dengan aturan dibuat sepihak oleh aplikator yang tidak transparan, jauh dari prinsip keadilan, dan merugikan.
“Selain persoalan di aturan yang dibuat, sesungguhnya driver online itu merupakan konsumen dari aplikasi yang membayar langganannya dari potongan setiap trip ordernya,” bebernya.
Bayangkan saja, lanjutnya, potongan fee yang dikenakan perusahaan aplikasi berbeda-beda, kisaran 10-25% dari tarif per-trip. Go Car/Gojek 10%, Grab 20% dan Uber 25%. Misalnya minimal tarif terdekat di aplikasi Grab sebesar Rp.13.000,- dipotong fee 20% = Rp.2.600,- tentu nominal diterima oleh driver hanya Rp.11.400,- dengan modal kendaraan, bahan bakar, tenaga, waktu.
“Bagaimana dengan tarif maksimal jarah jauh? Tentu semakin besar fee yang dibayarkan,” kata Alex.
Sebagai calo fee atau makelar, kata Alex, para aplikator itu sudah sangat memberatkan driver. Menurut dia, sepatutnya fee yang diambil oleh aplikator tidaklah sebesar itu.
“Bahkan kalau perlu ya digratiskan saja aplikasinya. Karena kita tahu, aplikasi memanfaatkan fasilitas digital dengan mekanisme pasar klik iklan dan sharing yang ditawarkan oleh mesin pencari, itu kan sudah sangat menguntungkan pihak aplikasi,” ujarnya.
Alex menyebut aplikator itu tidak lebih lebih calo modern jasa transportasi, yang mempergunakan medium teknologi digital dalam menghubungkan-mempertemukan penumpang dengan driver.
Seperti diketahui, aplikator itu memiliki bisnis utama pada kekuatan data dan jejaring digital, bukan pada alat transportasi yang dimiliki oleh driver individu. Logika bisnis sederhananya, lanjut Alex, mereka hanya peduli pada aset digitalnya dibanding kesejahteraan para mitranya.
Setelah aset digital besar dan kuat, perusahaan penyedia aplikasi akan terus berkembang dan melebarkan bisnisnya, salah satunya ke arah “payment gateway”, sebagai lembaga otorisasi proses pembayaran dari pengemudi ke penumpang, pembeli ke penjual, bahkan bisnis korporasi transportasi angkutan orang dan barang.
“Saat ini perusahaan penyedia aplikasi telah melebarkan bisnisnya dengan mitra driver korporasi (fleet) dengan cara main belakang dengan kartel transportasi yang menguasai penyelenggara angkutan umum sejak lama,” tandasnya.
Misalnya, di Go Car kerjasama dengan Blue Bird dan Kalla Transportation. Grab bermitra dengan TRAC dan Indorent. Tinggal tunggu waktu saja transportasi roda dua akan di arahkan ke bisnis korporasi transportasi.
“Bukan tidak mungkin individual driver online ditinggalkan dengan kekuatan baru pada jejaring korporasi transportasi,” ujar Alex.(JR)