Diskriminasi Penerapan Pajak Penghasilan Pekerja Perempuan, Buruh Perempuan Temui Komnas Perempuan

Diskriminasi Penerapan Pajak Penghasilan Pekerja Perempuan, Buruh Perempuan Temui Komnas Perempuan

- in NASIONAL
474
0
Diskriminasi Penerapan Pajak Penghasilan Pekerja Perempuan, Buruh Perempuan Temui Komnas Perempuan. Sejumlah buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menemui Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan). Pertemuan dengan Komnas HAM dilakukan pada Jumat lalu (06/12/2019).Diskriminasi Penerapan Pajak Penghasilan Pekerja Perempuan, Buruh Perempuan Temui Komnas Perempuan. Sejumlah buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menemui Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan). Pertemuan dengan Komnas HAM dilakukan pada Jumat lalu (06/12/2019).

Sejumlah buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menemui Komisi Nasional Hak Asasi  Perempuan (Komnas Perempuan). Pertemuan dengan Komnas HAM dilakukan pada Jumat lalu (06/12/2019).

Wakil Presiden Dewan Pimpinan Pusar Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Bidang Perempuan, Mundiah  menyampaikan, kedatangan mereka ke Komnas Perempuan untuk menyampaikan adanya diskriminasi yang terjadi terhadap pekerja perempuan, khususnya mengenai pajak penghasilan.

“Jadi, kami sampaikan ke Komnas Perempuan bahwa ada sejumlah kebijakan yang mendiskriminasi pekerja perempuan, yakni kebijakan pajak penghasilan untuk pekerja perempuan bersifat  diskriminatif,” tutur Mundiah, Selasa (10/12/2019).

Kebijakan yang diskriminatif itu, kata Mundiah, terdapat dalam Pasal 11 Ayat 3 dan 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman

Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21  dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang.

“Dalam peraturan tersebut menyebutkan pekerja perempuan yang sudah menikah tetap dianggap lajang. Akibatnya berpotensi mendapatkan potongan pajak yang lebih besar dibandingkan pekerja laki-laki,,” jelas Mundiah.

Menurut dia, pekerja perempuan yang sudah menikah boleh saja dianggap lajang, tetapi dengan syarat, suaminya tidak memiliki penghasilan dan harus ada surat keterangan dari kecamatan.

Wakil Presiden DPP FSPMI Bidangi Pendidikan Nani Kusmaeni menambahkan, akibat adanya diskriminasi tersebut perempuan menjadi korban.

“Kebijakan itu diskriminatif. Pekerja perempuan dan laki-laki pada akhirnya tidak mendapatkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya,” terang Nani.

Kebijakan sepeerti itu, lanjutnya, juga berimplikasi lain yang serius, yaitu pekerja perempuan tidak lagi mendapatkan tunjangan keluarga karena statusnya dianggap lajang tadi.

Lebih lanjut Nani menjelaskan, untuk mengurus persaratan hingga ke kecamatan, perempuan harus izin meninggalkan pekerjaan dan upahnya tidak dibayar.

“Dengan mengurus surat ke kecamatan, maka perempuan dipermalukan dengan harus mengatakan bahwa suaminya tidak  memiliki penghasilan, dimana syarat yang sama tidak diperuntukkan bagi pekerja laki-laki,”  tegasnya.

Dalam pertemuan ini, mereka meminta dukungan dari Komnas Perempuan untuk mendesak pemerintah agar mencabut peraturan yang diskriminatif terkait dengan pajak penghasilan.

Bagi FSPMI, ini adalah pintu masuk untuk memperjuangkan sistem yang adil dan bebas diskriminatif di dunia kerja.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset