Terhitung tujuh bulan sejak diundangkan, pemerintah dianggap tidak serius mengimplementasikan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Satu-satunya pemerintahan daerah yang hendak membangun komitmen untuk implementasi Undang Undang itu baru Gubernur Provinsi Aceh dr. H. Zaini Abdullah.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim dalam penandatanganan komitmen dan kerja sama dalam implementasi Undang Undang Nomor 7 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bersama dengan Panglima Laot, Jaringan KuALA, dan KIARA. Komitmen ini dituangkan ke dalam Kesepakatan Bersama Multipihak dalam Perencanaan Penyusunan Rencana Strategis Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang dilakukan di Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Kesepakatan ini ditandatangani bersamaan dengan pelaksanaan Sosialisasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang diselenggarakan oleh Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Aceh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, pada tanggal 6 September 2016 lalu.
“Belum ada implementasi Undang Undang ini yang dilakukan oleh pemerintah. Baru pemerintah Aceh yang meneken komitmen akan melaksanakan Undang Undang tersebut,” ujar Abdul Halim dalam siaran pers, di Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Penandatanganan komitmen itu dihadiri oleh 250 peserta perwakilan Panglima Laot, nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, serta Kepala Daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan/atau DPRA/K dari Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kota Sabang.
Halim mengungkapkan, kesepakatan ini memuat 3 poin penting, yakni, pertama, Pemerintah Aceh wajib membuat kebijakan turunan UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam di Aceh; kedua, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh wajib melibatkan Panglima Laot, perwakilan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam pada proses penyusunan dan penetapan rencana strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dalam mengimplementasikan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; dan ketiga, Pemerintah Aceh berkomitmen mengalokasikan anggaran dalam memenuhi hak-hak dasar nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam demi kesejahteraan mereka.
Senada dengan Abdul Halim, Sekjen Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) Rahmin Fajri mengakui bahwa sejak disahkan pada tanggal 15 Maret 2016 lalu, belum ada pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, kota, yang menindaklanjuti mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
“Dengan adanya kesepakatan bersama ini, diharapkan upaya menyejahterakan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di Aceh bisa direalisasikan,” tegas Rahmi Fajri, Sekjen KuALA.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) mencatat, dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh, terdapat sebanyak 71.000 jiwa nelayan. Sementara jumlah rumah tangga pembudidaya ikan mencapai 24.866. Angka ini belum termasuk petambak garam yang mengelola tambak seluas 123,45 hektare.
“Kesepakatan ini menjadi pekerjaan yang wajib ditindaklanjuti oleh pemerintah bersama dengan masyarakat Aceh agar keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bisa dijalankan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” tambah Sekjen Kiara Abdul Halim.(JR)