Dalam masa pandemi Covid19 ini Pemerintah telah memberikan insentif pajak kepada pekerja yaitu relaksasi fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
Pembayaran PPh 21 dihapuskan oleh Pemerintah sebagai komitmen Pemerintah membantu pekerja dan perusahaan.
Dengan insentif PPh 21 ini pihak pekerja dapat memanfaatkannya untuk mendukung daya belinya sementara perusahaan dapat menggunakan untuk memperkuat modal kerja.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 23/PMK.03/2020, perusahaan yang terdampak pandemi Covid19 merupakan perusahaan yang terdaftar pada 440 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) tertentu.
Mulai tanggal 1 April 2020 penghasilan teratur yang diterima oleh pekerja berpenghasilan Rp 200 juta setahun yang bekerja pada perusahaan yang terdampak covid-19 mendapat fasilitas PPh 21 ditanggung Pemerintah.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi) Timboel Siregar mengatakan, insentif pajak baik, namun seharusnya insentif tersebut juga diberlakukan secara khusus kepada pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mencairkan dana program Jaminan Hari Tua (JHT).
“Pencairan dana JHT oleh pekerja yang ter-PHK merupakan salah satu cara pekerja untuk tetap mempertahankan daya belinya di tengah kondisi pandemi yang menciptakan resesi ekonomi saat ini,”jelasnya, Minggu (12/07/2020).
Pencairan dana JHT bagi pekerja yangg ter-PHK seharusnya dibebaskan dari pajak JHT-nya. Pengenaan pajak pencairan dana JHT mengacu pada Pasal 2 ayat 1 PP No. 68 Tahun 2009 yang menyatakan, Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. Adapun tarif pajak PPH 21 tersebut diatur oleh Pasal 5 PP ini.
Demikian juga dengan pengenaan pajak progresif terhadap pencairan dana JHT secara bertahap bagi peserta yang sudah menjadi peserta JHT minimal 10 tahun sesuai Pasal 37 ayat 3 UU SJSN, seharusnya juga dihapuskan sehingga bisa mendukung pekerja yang ter PHK.
Pasal 37 ayat 3 tersebut dioperasional dalam PP No 46 Tahun 2015 yang mengatur pencairan dana JHT secara bertahap yaitu pencairan sebesar 10% untuk persiapan pensiun atau sebesar 30% untuk perumahan.
“Pengenaan pajak progresif tersebut tarifnya lebih besar daripada pencairan dana JHT secara langsung,”ujar Timboel.
Banyak pekerja yang tidak mengetahui tentang pengenaan pajak progresif tersebut. Pelaksanaan Pasal 37 ayat (3) menjadi jebakan bagi pekerja sehingga pekerja membayar pajak lebih besar bila dibandingkan pembayaran pajak pencairan dana JHT sekaligus.
“Pekerja yang masih bekerja dan mendapat upah saja diberi insentif PPh 21 kenapa pekerja yang ter-PHK malah dikenakan pajak. Ini tidak adil,”katanya.
Seharusnya, lanjut Koordinator Advokasi BPJS Watch ini, Pemerintah memberlakukan penghapusan pajak dana JHT ini sejak 1 April 2020 lalu, sejak pemberian insentif PPh21 kepada pekerja yang masih bekerja.
Oleh karenanya, walaupun terlambat, dia mendorong Pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi pekerja yang ter-PHK. Yaitu dengan menghapuskan pajak pencairan dana JHT.
Dengan penghapusan pajak pencairan dana JHT ini maka Pemerintah menjadi adil terhadap pekerja yang ter PHK, dan penghapusan pajak tersebut akan mendukung daya beli pekerja ter PHK di masa resesi ekonomi saat ini.
“BPJS Watch berharap penghapusan pajak dana JHT bisa dilanjutkan walaupun pandemi Covid-19 sudah selesai nantinya, khususnya penghapusan pajak progresif pencairan dana JHT,”imbuhnya.(JR)