Diduga Kalah Telak Pemilihan Ketua Umum, Video Pria Ini Beredar di Grup WA, Isinya Menjelek-jelekkan Ormas Besutan Mendiang Sabam Sirait, Parkindo!

Diduga Kalah Telak Pemilihan Ketua Umum, Video Pria Ini Beredar di Grup WA, Isinya Menjelek-jelekkan Ormas Besutan Mendiang Sabam Sirait, Parkindo!

- in DAERAH, HUKUM, NASIONAL, POLITIK, PROFIL
1062
0
Diduga Kalah Telak Pemilihan Ketua Umum, Video Pria Ini Beredar di Grup WA, Isinya Menjelek-jelekkan Ormas Besutan Mendiang Sabam Sirait, Parkindo! - Foto: Screenhoot video pria yang disebut bernama Jenri Sinaga.(Dok)Diduga Kalah Telak Pemilihan Ketua Umum, Video Pria Ini Beredar di Grup WA, Isinya Menjelek-jelekkan Ormas Besutan Mendiang Sabam Sirait, Parkindo! - Foto: Screenhoot video pria yang disebut bernama Jenri Sinaga.(Dok)

Sudah sekitar empat hari ini, sebuah video berdurasi 2 menit 48 detik beredar di sejumlah Grup Whatsapp atau Grup WA dan Jalur Pribadi alias Japri. Khususnya di kalangan jejaring aktivis Salemba Raya 10. 

Pria yang bicara di dalam video itu, diduga kesal dan dongkol dengan kekalahan yang dialaminya pada kontestasi pemilihan Ketua Umum Ormas Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo), besutan Tokoh Kristen, yang juga Politisi Senior (Alm) Sabam Sirait. 

Pria yang dari penelusuran wartawan, diketahui adalah salah seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu. Pria itu juga disebut memiliki kedekatan dengan Ketua DPRD Provinsi DKI, yang juga kader PDIP, Prasetyo Edi Marsudi. 

Isi pernyataan di dalam video itu diduga melakukan aksi bullying dan dugaan penghinaan terhadap Parkindo. 

Selain aksi bullying yang mengarah pada penghinaan terhadap Parkindo, pria yang di dalam video mengenakan kaca mata itu, juga diduga berupaya bersengaja untuk melakukan tindakan provokasi, untuk mengadudomba sejumlah senior dan para peserta Munas ke-5 Parkindo, yang digelar di Bandung, Jawa Barat, pada Jumat 26 November 2021. 

Berikut ini isi pernyataannya dalam video berdurasi 2 menit 48 detik itu: 

Munas ke-5 Parkindo di Bandung, saya menilai adalah Munas Abal-Abal. Karena tidak diikuti oleh DPD yang sah, dari 34 Provinsi di Indonesia. Yang hadir  hanya 10. Sehingga tidak kuorum. Itu pun bukan definitif, belum pernah dilantik DPD oleh Pengurus DPP. Sehingga yang datang itu hanya di Surat Caretaker yang diatur oleh Panitia. 

Di mana jelas-jelas juga di situ, kriterianya membuat, untuk jadi Pengurus Parkindo harus memiliki Hak Suara, Pengurus DPP, harus anggota GAMKI, harus anggota GMKI, dan juga tidak boleh punya istri Pegawai Negeri, dan lain-lain. 

Ini kan sudah menghambat bagaimana kemajuan umat Kristiani yang kita kasihi. Sehingga tidak ada dalam kasih. 

Munas ini sepertinya hanya untuk main-main. Dan juga, peserta pun sangat minim. Dan dipaksakan kenapa di pandemi diadakan Munas. 

Jadi, sehingga pada saat pencalonan, saya lihat prosesnya tidak sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga. 

Proses pencalonan ada yang mencalonkan saya 4 suara, saya mundur. Karena memang tidak memenuhi kuorum. Dan tidak legalitas, bahwa Munas ini tidak ada legalitasnya. Sehingga saya, lebih bagus gak usah jadi calon. Saya mundur jadi calon. 

Sehingga adalah calon yang lain. Di mana dia Ketua Umum selama 6  periode, eh 6 tahun. Tapi satu DPD pun tidak pernah dilantik. Sehingga dia katanya bisa memajukan PDI eh Parkindo. Dan dia tidak akan mau berkoordinasi dengan Matraman 10, Yayasan, yang melahirkan Parkindo. 

Dia jelas-jelas mengomong, bahwa dia, Parkindo tidak ada hubungan dengan Yayasan Komunikasi. Sehingga ini tidak sah, dan melawan arus. 

Itulah Ketua DPD yang terpilih melalui Munas Abal-Abal itu. Sehingga, saya otomatis, saya meminta untuk mundur dari situ. 

Harapan saya ke depan, para senior-senior, para sesepuh, yang mengasihi, yang perduli akan Parkindo ini, agar mengambil alih seluruh kegiatan Parkindo, terutama Yayasan Komunikasi yang ada di Matraman 10.*** 

Menanggapi beredarnya video itu, salah seorang Peserta Munas ke-5 Parkindo, yang tidak berkenan dituliskan namanya, menyebut, pria yang di dalam video tersebut adalah bernama Jenri Sinaga, yakni mantan birokrat dari sebuah instansi Keuangan, yang kini sudah menjadi politisi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). 

Pria itu juga disebut kini menjadi salah seorang Staf Ahli atau Staf Khusus di Kantor DPRD Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, dia juga pernah mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumut 3 pada Pemilu 2019 lalu, namun gagal masuk Senayan. 

“Dia memang maju mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Ketua Umum DPP Parkindo di Munas ke-5 Parkindo di Bandung. Sudah membentuk Tim Sukses dan menggalang kekuatan, namun kalah dalam kriteria,” tutur Peserta Munas ke-5 Parkindo, yang tidak bersedia dituliskan namanya. 

Menurutnya, tidak ada yang salah dalam proses Munas ke-5 Parkindo itu. Sebab, pelaksanaannya kuorum, dengan menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes). Juga dilaksanakan secara daring lewat zoom dan luring. 

Justru, lanjutnya, yang melakukan tindakan tidak terpuji dalam proses Munas ke-5 Parkindo itu adalah pihak dari pria yang ada di dalam video yang beredar tersebut. 

Seperti, Ketua Majelis Sidang Munas ke-5 Parkindo itu didominasi oleh anggota Tim Sukses dari pria di video tersebut. Dari 3 Anggota Majelis Sidang, 2 orang adalah anggota Tim Sukses dari pria yang kalah telak dalam proses pemilihan tersebut. 

“Bahkan, setelah ketahuan kalah, dan bersegera mengakhiri proses pemilihan, Ketua Majelis Sidang Munas ke-5 Parkindo itu langsung menyembunyikan dan membawa kabur hasil-hasil Munas, dengan menitipkannya di Mobil Calonnya yang kalah,” tutur pria yang mengaku sudah malang melintang di Parkindo ini. 

Sehingga, katanya lagi, bullying dan provokasi yang disebarkan lewat video itu diduga karena kekalahannya dalam proses pemilihan Ketua Umum DPP Parkindo. 

“Kasihan sekali sebenarnya Bapak yang di video itu. Habis dia dikerjain orang-orang dekatnya, yang juga jadi Tim Suksesnya. Malah masih disuruh bicara pula lewat video itu. Nyungsep. Sudah dikerjain, habis duitnya, kalah pula. Eh malah masih mau disuruh-suruh untuk ngoceh-ngoceh mem-bully dan dugaan merendahkan Parkindo pula. Itu bisa dilaporkan dan diproses hukum loh,” ujarnya. 

Ormas Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) besutan Tokoh Senior (Alm) Sabam Sirait itu memang telah selesai menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Bandung, Jawa Barat.  

Munas Parkindo itu digelar dari Kamis 25 November 2021 hingga Jumat 26 November 2021, yang dilaksanakan secara daring lewat zoom atau online, dan juga secara luring atau onsite, dengan tetap menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes). 

Dari Munas ke-5 Parkindo yang sudah terlaksana di Kota Bandung, Jawa Barat itu, terpilih Lukman Doloksaribu sebagai Ketua Umum, dan Besli Pangaribuan sebagai Sekjen. 

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respon dari pria yang ada di dalam video yang beredar itu.  

Demikian juga dari Panitia Pelaksana Munas ke-5 Parkindo dan Pengurus Terpilih, masih memilih untuk tidak merespon beredarnya video yang diduga berisi bullying dan dugaan penghinaan terhadap Parkindo itu. 

Perlu diketahui, Parkindo, yang di era Orde Lama adalah Partai Kristen Indonesia (Parkindo Partai), sudah sejak melakukan fusi di jaman Orde Baru ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI), berubah menjadi Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo Ormas). 

Dalam sejarahnya, semarak partai politik di Indonesia dimulai ketika lahirnya ‘Maklumat Pemerintah 3 November 1945’ yang ditandai dengan dukungan Pemerintah atas lahirnya partai-partai politik dalam masyarakat. Namun jumlah partai itu seiring mengerucut saat memasuki rezim Orde Baru. 

Jumlah-jumlah partai dileburkan dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) salah satunya. Dinamika perpolitikan Indonesia langsung berubah, menyesuaikan perkembangan. 

Pada era Orde Lama, partai yang diakui Pemerintah berjumlah ada sembilan yakni Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdatul Ulama (NU), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Islam (Perti) yang kemudian menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). 

Namun ketika memasuki era Orde Baru tahun 1970-an, Soeharto yang menjadi Presiden Republik Indonesia kala itu, berpandangan lain. 

Penguasa Orde Baru adalah melekatkan penyederhanaan jumlah partai politik. Setelah Pemilu 1971, tepatnya tahun 1973 partai-partai itu didorong untuk segera melakukan fusi. Kesembilan partai politik yang ada dikelompokkan atas dua kelompok. 

Kelompok pertama yang beraliran spiritual yang terdiri dari 7 partai keagamaan. Sementara satu partai lagi beraliran nasionalis yang terdiri dari partai PNI, Murba, dan PKI. 

Dengan adanya fusi ini partai-partai politik yang ada menjadi dua yang beraliran spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan yang nasionalis menjadi PDI, sementara ada satu kekuatan politik lain yakni Golkar. 

Saat itu, tidak semua pihak sepakat atas gagasan peleburan atau fusi partai tersebut. Ide untuk melebur partai menjadi dua poros sempat mendapat penolakan dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Mereka menolak bila dilebur dengan partai Islam. 

Para pimpinan dari kedua partai tersebut ingin membuat partai terpisah, dan tampaknya ada cukup banyak yang mendukung gagasan untuk membentuk satu Partai Kristiani.  

Ide untuk membentuk partai yang mewakili suara umat Kristiani ini bagaimanapun mendapat penolakan dari Presiden Soeharto. Namun, mereka diijinkan untuk merapat dengan partai poros nasionalis. 

Apa boleh buat, karena tak ada pilihan lain poros Kristiani pun mau tak mau sepakat. Akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 dua partai keagamaan yakni Parkindo dan Partai Katolik bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia. 

Saat itu, PDI mempunyai komitmen ideologi Pancasila sebagai prinsip dasar perjuangannya. Pada awal berdirinya, pada tahun 1973, PDI dipimpin oleh Mohammad Isnaeni. 

Awal terbentuknya PDI seolah-olah dipaksakan. Selain karena perkara poros Kristiani yang tidak punya pilihan lain selain bergabung dengan poros nasionalis yang kemudian menjadi PDI, dalam tubuh PDI juga ada kader-kader yang tidak sejalan. 

Mereka berasal dari partai IPKI dan Partai Murba. Seperti diketahui bahwa IPKI adalah partai yang sangat anti-PKI pada jaman rejim Sukarno, dalam hal ini posisinya berseberangan dengan Partai Murba. 

Agaknya karena banyaknya perbedaan pandangan dalam partai ini, PDI sempat jadi partai yang tidak terlalu signifikan atau Orde Baru menyebutnya dengan ‘partai gurem’. Sebutan itu masih merujuk pada lemahnya kekuatan partai selama 13 tahun sejak berdirinya partai berlogo banteng ini. 

Dan tidak adanya upaya nyata untuk mengkritisi rezim atau berkompetisi pada kontes hegemoni politik hingga membuatnya kurang bernilai. 

Partai ini berjalan stagnan sampai muncul kebangkitan semangat untuk merehabilitasi nama Sukarno. Pada 1986 PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi, mulai mengadakan pendekatan terhadap keluarga Sukarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra untuk bergabung dalam PDI. 

Bergabungnya keluarga Sukarno di PDI mendapat sambutan positif baik dari kaum pendukung Sukarno (PNI) dan dari golongan pemilih muda. Animo itu terus meningkat hingga Megawati akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI pada 1993. 

Namun pemerintah Soeharto tak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketum PDI. Mega lalu didepak dalam Kongres PDI di Medan pada 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Dari sinilah perpecahan PDI dimulai.  

Pecahnya PDI mencapai puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996 atau biasa disebut dengan peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). 

Peristiwa ini adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. 

Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. 

Sejak peristiwa itu, nama PDI kemudian diganti dengan ditambahkan Perjuangan di belakangnya. Peristiwa itu sekaligus menjadi penanda lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). 

Perlu diketahui juga, Parkindo sebagai Partai Politik yang kini sebagai ormas, juga tidak terlepas dari para aktivis yang berbasis dari Salemba Raya 10, Jakarta Pusat. 

Salemba Raya 10 di Jakarta Pusat memang dikenal sebagai basis berdiri dan bergeraknya lembaga keumatan Kristen, yang kemudian sering disebut sebagai ‘Wali Songo’ 

Wali Songo Salemba Raya 10 itu adalah Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Persatuan Petani Kristen Indonesia (Pertakin), Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia (Kespekri), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekrindo), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang kini menjadi Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo), Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), yang semua bernaung dan bersinergi dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).(J-RO) 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Laskar Anti Korupsi Indonesia Kecam Ketidakadilan di Pemkab Karo: ASN Tak Terima Gaji Selama ± 24 Bulan

Jakarta– Di tengah kesulitan hidup yang semakin berat,