Hati-hati, ternyata tidak selamanya yang dinamakan Generasi Millenial itu sebagai generasi yang cuek dan masa bodo. Malah, berdasarkan sejumlah data, pelaku terorisme dan radikalisme adalah kalangan muda.
Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr Dianta Sebayang menyebut, kaum milenial pengangguran atau yang sudah bekerja tetapi dengan upah yang rendah, terbukti menjadi pelaku terorisme dan radikalisme.
Hal itu disampaikan Ekonom UNJ itu ketika bicara dalam Dialog Kebangsaan bertema Generasi Milenial Menangkal Radikalisasi dan Terorisme dalam Pendidikan. Dialog Kebangsaan ini diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Adat Buru Jakarta (Format Buru Jakarta), di Hotel Puri Mega, Jalan Rawamangun No 15, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).
“Dari yang sudah-sudah ternyata ditemukan para pelaku bom bunuh diri, terorisme dan radikalisme itu kebanyakan adalah anak-anak muda, generasi milenial yang pengangguran. Atau mereka yang bekerja dengan upah yang kecil,” ungkap Dianta Sebanyang.
Dari sisi statistik ekonomi, jumlah generasi milenial Indonesia mencapai 55 persen lebih. Jumlah itu sangat besar dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia.
“Dengan jumlah itu, mari kita lihat, ngapain saja generasi milenial kita selama ini? Sebanyak 53 persen ternyata bekerja. Sebanyak 14 persen masih dalam proses pendidikan atau sekolah. Dan sebanyak 18 persen mengurus Rumah Tangga. Ini kebanyak kaum milenial perempuan,” jelasnya.
Nah, ternyata dari 53 persen kaum milenial yang bekerja itu, tidak mendapatkan penghasilan yang memadai. Dan bahkan ketersediaan lapangan kerja yang tidak memadai juga mendorong mereka bekerja apa adanya.
“Kebanyakan generasi milenial bekerja di sektor jasa. Sebagai pelayan toko, pemasaran dan jual jasa lainnya. Dan kebanyakan mereka rentan menjadi teroris dan radikalis, karena tingkat penghasilan atau kesejahteraannya rendah,” tutur Dianta Sebayang.
Kenyataannya juga, sekitar 7,7 % generasi milenial kini mengecap pendidikan di Perguruan Tinggi. Jumlah ini, termasuk mengalami peningkatan. Meskipun belum signifikan. Jika generasi milenial mengecap pendidikan yang berkualitas di Perguruan Tinggi, lanjut Sebayang, akan mampu menekan angka radikalisme dan terorisme.
Dia menekankan, dalam sejarah tindakan terorisme dan radikalisme yang pernah diamatinya, kebanyakan pelakunya adalah orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah serta tidak memiliki kesejahteraan hidup yang memadai.
“Belum pernah saya lihat orang kaya, orang yang memiliki kesejahteraan baik, yang memiliki harta benda atau aset yang banyak, melakukan bom bunuh diri atau menjadi terorisme,” jelas Dianta Sebayang.
Dianta Sebayang yang memeluk Agama Islam itu menegaskan, persoalan radikalisme dan terorisme bukanlah persoalan agama. “Tetapi lebih kepada karena persoalan pemahaman mengenai ajaran, juga dikarenakan ketidaksiapan menghadapi tantangan kehidupan,” katanya.
Mirip seperti hukum ekonomi, menurut Dianta Sebayang, jika ketersediaan produk, misalnya, sedikit, maka permintaan yang banyak tidak akan terpenuhi. “Demikian pula pada proses rekrutmen terorisme dan atau kaum radikalisme,” ujarnya.
Yang pasti, lanjutnya, terorisme dan radikalisme merusak tatana perekonomian masyarakat dan bangsa. Sudah banyak contoh, seperti di Negara-negara luar, di Timur Tengah, yang banyak kelompok-kelompok terorismenya, perekonomian negeri-negeri itu amburadul, hancur. Masyarakatnya jatuh dalam kemelaratan dan kemiskinan. Indeks harapan hidup sangat rendah.
“Meningkatnya terorisme dan radikalisme sangat mengganggu jalannya roda perekonomian suatu masyarakat atau Negara,” ujarnya.
Ada Kecenderungan Kaum Milenial Meninggalkan Faham Agama Yang Benar
Arief, dari perwakilan Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat) mengatakan, generasi milenial memiliki kecenderungan meninggalkan ajaran agama yang benar.
Kaum milenial seperti mempertuhankan media sosial dan penggunaan gadget. “Bahkan, kebanyakan generasi milenial tidak berpatokan kepada figur atau tokoh lagi. Mereka cenderung mengandalkan gadget. Sebab, semua informasi yang dibutuhkan bisa diakses dengan gadget,” ujar Arief.
Arief menegaskan, jika benar ada sekitar 800 ribu situs yang tidak jelas, yang tiap hari menyebarkan informasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kevalidannya, maka generasi milenial menjadi korban. Sebab yang paling banyak mempergunakan media sosial dan mengakses informasi dengan alat teknologi itu adalah generasi milenial.
“Kerentanan generasi milenial menjadi korban atau pelaku terorisme dan radikalisme sangat tinggi. Mereka bisa terjebak dengan radikalisme dan terorisme,” ujarnya.
Dari beberapa fakta, pelaku terorisme ternyata mengakses informasi lewat media sosial. Seperti cara merakit bom atau strategi-strategi terorisme lainnya.
Kondisi ini harus mendapat respon dari semua pihak. Agar generasi milenial tidak terjebak dalam terorisme dan radikalisme.
Arief menegaskan, belajar dari perjalanan sejarah bangsa-bangsa beradab di dunia, ajaran agama yang benar mampu membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Seperti Negara-negara di Timur Tengah yang tinggi peradabannya menganut ajaran Islam yang benar, Cina yang kebanyakan menganut ajaran Kong Hu Cu, India dengan agama Hindu.
“Dan di Indonesia, semua agama itu ada. Seharusnya Indonesia kian maju dan kian beradab. Penerimaan kepada sesama anak bangsa yang berbeda agama adalah keniscahyaan di Indonesia. Jadi, tidak sebatas saling menghormati, tetapi sudah pada penerimaan tertinggi. Saling menerima kodrat dan keberadaan masing-masing. Ini modal yang sangat bagus bagi Indonesia ke depan,” jelasnya.
Islam Bukan Terorisme, Terorisme Bukan Agama
Tokoh Islam Jakarta, KH Misbahul Munir menyampaikan, pendefenisian oleh sebagian orang kepada Islam diidentikkan sebagai terorisme adalah hal yang salah kaprah.
Sebab, Islam bukanlah terorisme. Islam bukan penjahat. “Tidak ada ajaran di Islam yang melegalkan terorisme. Pemahaman oleh segelintir orang yang membawa-bawa agama Islam dalam aksi terorismenya itu membuat Islam memiliki citra buruk. Saya sendiri tersinggung jika terorisme itu disebut sebagai Islam. Itu tidak benar,” tutur KH Misbahul Munir.
Sekretaris Komisi Dakwa Majelis Ulama Indonesia di DKI Jakarta ini mengatakan, penyebaran informasi yang kurang bertanggungjawab lewat media sosial harus dilawan. Penyebaran cara-cara dan ajaran Islam yang salah kaprah yang secara jor-joran dilakukan oleh segelintir orang tertentu tidak boleh dibiarkan.
“Kita semua, terutama kaum generasi muda, harus merebut ruang-ruang media sosial dengan mengisinya dengan pemahaman-pemahaman yang benar. Jangan malah dibiarkan diisi oleh pemahaman yang tidak tepat,” tutur KH Misbahul Munir.
Selain itu, dijelaskannya, Indonesia dengan PBNU-nya, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 (disingkat PBNU) tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun, termasuk Islam.
Lagi pula, menurut KH Misbahul Munir, mencintai Tanah Air di mana Tuhan menempatkan manusia adalah keharusan yang sejalan dengan ajaran agama Islam. “Cinta Tanah Air itu adalah Perintah Allah, itu ada di ajaran Islam,” ujarnya.
Indonesia, kata dia, juga diperjuangkan oleh orang-orang yang mencintai Indonesia. Yang mencintai sesamanya. Yang terdiri dari beragam latar belakang. Berbeda suku, agama, warna kulit, atau ras dan golongan. “Semua itu mencintai Indonesia, dan itu adalah Indonesia. Di sinilah kita Indonesia,” ujarnya.
Menangkal Radikalisme dan Terorisme Dengan Kembali Ke Defenisi Dasar
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta) Jhon Roy P Siregar menyarankan, jika tidak mau terjebak dengan terorisme dan radikalisme, sebaiknya generasi milenial kembali ke pemahaman dasar.
Sebab, per defenisi saja, setiap konsepsi tentang radikalisme dan terorisme itu sudah tergambar apa maksud dan tujuannya, sekaligus bisa difahami apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
“Sebab, saat ini, kebanyakan orang yang dinamai generasi milenial cenderung meninggalkan makna dasar dari kosepsi. Seperti konsepsi terorisme, radikalisme, pendidikan, doktrin dan lain sebagainya, hendaknya dibaca dan difahami benar, tidak hanya cukup membaca sekilas. Sebab jika difahami, maka di sana ditemukan petunjuk mengenai konsepsi-konsepsi itu sendiri,” tutur Jhon Roy P Siregar.
Dari sisi pendekatan komunikasi, lanjut pria yang berprofesi sebagai Jurnalis ini, kontak komunikasi dan informasi lewat media sosial cenderung memiliki kelemahan. Sebab, ada ruang-ruang kosong yang tidak bisa dipenuhi. Ada pemaknaan yang cenderung mudah diselewengkan menjadi makna lain.
Generasi milenial, lanjutnya, hendaknya mengisi ruang-ruang kosong itu dengan pemahaman-pemahaman yang nyata. “Maka pertemuan langsung, tatap muka, itu selalu lebih baik dalam membahas sebuah konsepsi, informasi atau situasi. Selain bisa dipastikan gestur dan juga makna yang genuine, juga terjadi ikatan bathin yang sehat dalam berkomunikasi,” jelasnya.
Siregar menyampaikan, untuk menghindari adanya pemahaman dan pemikiran terorisme atau radikalisme lewat medsos, hendaknya generasi milenial rajin melakukan crosscheck terhadap informasi yang diperoleh.
“Jangan ditelan bulat-bulat begitu saja. Periksa dulu, kalau perlu langsung dikonfrontir atau diminta penjelasan kepada pihak yang wajib melakukan penjelasan,” tuturnya.(JR)