Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum), Dr Fadil Zumhana menyetujui tiga dari empat permohonan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Hal itu dilakukan setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 3 dari 4 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, pada Senin, 14 Maret 2022.
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani , Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan Para Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda.
Adapun 3 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif:
Pertama, Tersangka Arfan Molamahu dari Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara yang disangkakan melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Kedua, Tersangka Abdul Rohim yang dipanggil I’im Bin Dedi Putra dari Kejaksaan Negeri Pasaman Barat yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Ketiga, Tersangka Ridwan Bolang dari Kejaksaan Negeri Minahasa Utara yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, pertama, para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum.
Kedua, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. Tiga, Telah dilaksanakan proses perdamaian di mana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Empat, Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Lima, Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
Enam, Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Tujuh, pertimbangan sosiologis. Delapan, masyarakat merespon positif.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyampaikan, kepercayaan masyarakat harus tetap dijaga sehingga kualitas perkara yang diajukan untuk diselesaikan melalui keadilan restoratif atau restorative justice tetap sesuai dengan pedoman yang sudah ditetapkan.
“Restorative justice tidak hanya menghentikan perkara semata tetapi juga menggerakkan korban dan masyarakat untuk berperan dalam proses menimbulkan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Jadi tidak hanya sekedar menghentikan perkara saja. Putusan SKP2 ini sama dengan putusan pengadilan sehingga kita harus betul-betul meningkatkan kualitas restorative justice,” ujar Fadil Zumhana.
Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum.
Sementara dalam perkara Tersangka Muslimin Anak dari Sula yang disangkakan melanggar Pasal 310 Ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan mengakibatkan 2 orang korban jiwa meninggal dunia.
Akibatnya, Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atas nama Tersangka Muslimin Anak dari Sula tidak dikabulkan. “Karena korban yang disebabkan akibat kecelakaan tersebut lebih dari 1 orang korban jiwa,” tandasnya.(JRO)