Pasca dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) no. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, pemerintah diminta segera menuntaskan konflik-konflik petani dan perkebunan sawit.
Salah satu kasus yang cukup pelik adalah kasus yang terjadi di Polanto Jaya, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Warga setempat yang awalnya hidup dari bertanam kakao dipaksa beralih menanam sawit. Tak hanya itu, lahan milik warga malah diklaim sebagai milik perkebunan.
Manager Kajian Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah, Mohammad Hasan menuturkan, kasus di Polanto Jaya bermula ketika tahun 2002 petani dipaksa perusahaan untuk menanam sawit. Awalnya petani menanam kakao dan palawija.
“Karena tekanan dari perusahaan, kini hampir 90 persen warga Polanto Jaya adalah petani sawit,” katanya dalam jumpa pers di Kantor Walhi Nasional, Jalan Tegalparang Utara, Jakarta, Senin (24/09/2018).
Kasus itu kian membesar lantaran perusahaan mengklaim lahan yang sudah ditempati warga selama turun-turun. Bahkan warga yang mempertahankan lahannya dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan pencurian dan pengrusakan.
“Perkebunan sawit ini bukannya meningkatkan ekonomi, tapi malah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, maka dari itu Inpres no. 8 tahun 2018 ini baik untuk menata ulang perkebunan sawit,” ujarnya.
Pihaknya menantikan apakah Inpres itu dapat menyelesaikan masalaah yang terjadi. Terlebih pada perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik yang terindikasi maupun telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Hingga Kepala Daerah dan Kepolisian apakah akan tunduk dan patuh menjalankan Inpres ini.
Jufri, warga Desa Polanto Jaya, menceritakan pada 2002-2004 tananam kakao milik warga ditebang oleh pihak perusahaan yang dilindungi oleh aparat kepolisian. “Surat-surat tanah dirobek sama oknum aparat, kami minta ganti tapi digantinya semau perusahaan,” ungkapnya.
Jika kakao ditanam di lahan yang bersertifikat maka ganti ruginya mencapai Rp3,5 juta per hektar, sementara kakao yang ditanam di lahan tanpa sertifikat ganti ruginya hanya Rp1 juta. Tak hanya itu, warga yang mempertahankan tanaman kakao miliknya malah ditangkap lalu diborgol serta diangkut ke mobil polisi.
Jufri dan warga lainnya sudah mengadu ke Mabes Polri dan Komnas HAM, tapi tidak ada kejelasan laporannya. Ditengah situasi tersebut warga Polanto Jaya terpaksa beralih menjadi petani sawit. Namun kondisi tidak jauh berbeda.
Pada Oktober 2017, Jufri dan beberapa warga memanen sawit di lahan miliknya. Pihak perusahaan malah melaporkan kejadian ini ke polisi dengan tuduhan pencurian dan pengrusakan. Pada 24 April 2018 Jufri dan 3 warga lainnya divonis 4-5 bulan penjara.
Baru keluar dari penjara pun Jufri berpeluang masuk penjara lagi. Penyebabnya, jaksa penuntut umum melakukan banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Sementara pengadilan tinggi mengabulkan banding tersebut. Para warga merasa keadilan susah didapat, apalagi mereka cuma petani kecil.
“Sawit kita dibeli sangat rendah, hanya Rp725 per kilogram, sementara harga yang dijual oleh perusahaan tidak pernah dipaparkan ke masyarakat,” katanya.
Posisi warga juga terjepit karena di lokasi tersebut mereka hanya bisa menjual panen sawit ke perusahaan yang menguasai lahan mereka.
Jufri kini mendesak agar lahan yang diklaim perusahaan dikembalikan lagi kepada warga. Apalagi lahan tersebut sudah dimilikinya secara turun temurun.
“Saya ini bayar pajak, sekarang kalau saya lapor ke pemerintah, malah saya ditanya lagi mana peta wilayah, kalau begini mana keadilan, kepada orang kecil hukum tajam sekali,” ujarnya.(JR)