Menyongsong perhelatan politik, Pilpres 2019, Buruh meminta agar setiap pasangan calon memprioritaskan ketersediaan lapangan pekerjaan pada tahun mendatang.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, bagi buruh, ketersediaan lapangan kerja adalah hal yang sangat serius.
“Siapa pun presiden yang terpilih, maka penciptaan lapangan kerja harus menjadi prioritas utama yang harus dilakukan,” tutur Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Minggu (30/12/2018).
Meskipun memberikan dukungan terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, tegas dia, KSPI tetap menuntut ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini terlihat dalam kontrak politik antara KSPI dan Prabowo Subianto yang tercantum dalam Sepuluh Tuntutan Buruh dan Rakyat (Sepultura).
Di poin 5 Sepultura, disebutkan mengenai penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini selaras dengan visi misi Prabowo-Sandi, untuk menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya dan menghentikan kebijakan outsourcing yang merugikan pekerja serta mengutamakan tenaga kerja lokal dibanding tenaga kerja asing dalam pembukaan lapangan pekerjaan baru.
“Jadi tidak benar jika kritik KSPI mengenai lapangan pekerjaan disampaikan KSPI karena Said Iqbal dan KSPI mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Siapapun presidennya, lapangan kerja menjadi hal yang penting,” tegas Said Iqbal.
Terkait dengan kritiknya mengenai Pemerintah yang gagal menyediakan lapangan kerja, Said Iqbal menyampaikan ada tiga alasan yang mendasar.
Pertama, terkait dengan definisibekerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang, dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit dilakukan selama 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu sebelumnya.
Menurut Said Iqbal, definisi bekerja seharusnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana menurut UU Ketenagakerjaan, definisi pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam hal ini, bekerja pun ada ketentuannya, yakni 40 jam dalam seminggu dan mendapatkan upah sekurang-kurangnya upah minimum.
Dengan demikian, definisi bekerja adalah 1 jam dalam seminggu tidak adil? “Mendefinisikan pekerja seharusnya mengacu pada UU Ketenagakerjaan. Bukan orang yang bekerja 1 jam dalam seminggu disebut sudah bekerja,” tegasnya.
Pada saat bersaaman, di data KSPI, dalam rentang waktu 2015 -2018 terjadi 4 kali gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai ratusan ribu.
“Dalam bahasa lepas pernah disebut jumlahnya hampir 1 juta orang, sebenarnya lebih tepat ratusan ribu orang, tetapi yang pasti bukan 74 ribu orang sebagaimana yang diklaim Kemenaker,” katanya.
Atas dasar itu, bagaimana mungkin ketika terjadi PHK besar-besaran kemudian Pemerintah melalui Kemenaker menyatakan terjadi penyerapan tenaga kerja setiap tahun 2 jutaan orang.
“Hal ini menurut serikat buruh tidak masuk akal,” katanya. Sekali lagi, tegas Iqbal, definisi bekerja yang dimaksud adalah mengacu pada UU Ketenagakerjaan, yakni 40 jam bekerja dalam seminggu.
Kedua, terkait revolusi industri 4.0 pemerintah. Hingga kini belum ada regulasi yang memproteksi buruh terhadap ancamana PHK akibat dampak dari munculnya revolusi industri 4.0. Faktanya, beberapa industri retail telah tutup dan melakukan PHK karyawannya.
“Bahkan ASPEK Indonesia pernah menyampaikan adanya potensi ancaman 20 ribu pekerja jalan tol ter-PHK akibat otomatisasi. Terutama PHK terhadap karyawan kontrak yang tidak diperpanjang kontraknya, dan tidak ada perekrutan pekerja baru,” tambah Iqbal.
Tidak adanya regulasi yang memproteksi PHK dari ancaman PHK akibat revolusi industri 4.0, lagi-lagi menjadi ancaman yang bisa menyebabkan buruh dengan mudah kehilangan pekerjaan.
Ketiga, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar menyampaikan pada tahun 2018, hingga bulan September, ada 3.362 orang di PHK. Sebelumnya, pada tahun 2017 menjadi 9.822 orang.
Data tersebut, menurut KSPI tidak masuk akal. Di Karawang saja, menurut Kepala Disnakertrans Kabupaten Karawang, Suroto, Jumat (7/12/2018) sejak tahun 2017 hingga 2018 terjadi banyak PHK, mencapai 22 ribu orang.
Itu baru kabupaten Karawang. Masih di tahun 2018, di Purwakarta, PT Dada Indonesia tutup dan menyebabkan ribuan orang kehilangan pekerjaan.
“Lalu bagaimana mungkin pada tahun 2018 ini Kemenaker mengatakan jumlah buruh yang di PHK hanya 3.362 orang?” ujar Said Iqbal.
Lebih lanjut dia mengatakan, data Kemenaker bersifat pasif. Artinya data itu diperoleh dari laporan yang masuk. Sedangkan apa yang disampaikan KSPI adalah data aktual yang disampaikan anggotanya di lapangan.
Dalam waktu dekat, tegas Said Iqbal, KSPI akan mendata lagi PHK di berbagai daerah yang terjadi sepanjang tahun 2018, untuk membuktikan data Pemerintah yang mengatakan hingga September 2018 hanya ada 2.362 orang di PHK tidaklah benar.(JR)