Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melaksanakan proses fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan bagi para calon Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (Dewas BPJS Ketenagakerjaan) diminta tidak memilih kucing dalam karung, harus benar-benar orang yang mengerti dan faham keberpihakan kepada buruh dan para peserta BPJS itu sendiri.
Hal itu disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangan pers, kemarin. “Banyak persoalan ke depan yang harus diselesaikan, dan untuk itu, butuh kerja-kerja Dewas yang ril. Bagi kalangan buruh, Dewas juga diharapkan mampu dan mau berkomunikasi dengan buruh, sehingga permasalahan yang dialami buruh bisa dapat segera diselesaikan,” ujar Timboel di Jakarta, (Senin, 25/01/2016).
Kemarin, Senin 25/01/2016, DPR memulai melakukan proses uji kelayakan bagi para calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan. Para calon yang diseleksi itu berasal dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan tokoh msyarakat.
“Komisi Sembilan DPR yang bertugas melakukan seleksi ini harus lebih teliti dan obyektif. DPR harus lebih memfokuskan pada 4 masalah yaitu Kepesertaan, Investasi, Pelayanan, dan Manajemen Organisasi BPJS Naker,” ujar Timboel.
Sebab, menurut Timboel, dari sisi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, hingga saat ini BPJS Naker masih gagal meningkatkan kepesertaan secara signifikan. Kepesertaan aktif pekerja formal masih berkisar 30 persen dari total pekerja formal yang saat ini mencapai 35 juta.
Harusnya, lanjut dia, dengan kehadiran PP 86 Tahun 2013 tentang sanksi, maka BPJS Naker bisa menggunakaan instrumen itu untuk menegakkan hukum. Ditegaskan Timboel, berdasarkan Undang Undang, kepesertaan pekerja formal adalah wajib. Itu telah diwajibkan berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang BPJS.
“Hingga kini, dewan pengawas BPJS Ketenagakeraan gagal mengawal direksi BPJS Ketenagakerjaan dalam hal kepesertaan,” ujar Timboel.
Sedangkan yang berkenaan dengan investasi yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan, Timboel menegaskan bahwa sampai saat ini BPJS Ketenagakerjaan mengelola uang buruh hingga Rp 200 triliun. Tentu saja, lanjut dia, hak buruh itu harus dikelola dengan baik dan harus terhindar dari penyelewengan. Dewas diharapkan mampu menunjukkan kinerja pengawasan yang sungguh-sungguh pro buruh.
“Investasi itu harus dikelola dengan hati-hati dan bisa menghasilkan imbal hasil yang baik. Dewas harus mampu dan berani mengkritisi penempatan dana buruh pada investasi-investasi yang ada. Selama ini, Dewas tidak berani mengkritisi investasi-investasi yang dilakukan direksi,” ungkap dia.
Bagaimana dengan pelayanan BPJS Naker terhadap buruh selama ini? Timboel menyampaikan, misal, untuk pencairan JHT (Jaminan Hari Tua) yang selama ini bisa dilakukan seminggu, ternyata sejak 1 Juli 2015 pencairan tersebut memakan waktu berbula-bulan, yakni antara 3 hingga 4 bulan.
“Hal ini terjadi karena ketidaksiapan BPJS Naker merespon kehadiran PP 60 tahun 2015 tentang JHT. Demikian juga pelayanan kepada buruh yang mengalami kecelakaan kerja, masih banyak rumah sakit yang belum mau bekerja sama dengan BPJS Naker untuk menangani kasus kecelakaan kerja.,” papar dia.
Terkait manajemen organisasi, Timboel menyampaikan, Dewas BPJS Naker saat ini juga masih terkesan menjadi subordinasi Direksi, sehingga tidak mampu mengawasi kinerja direksi. Dewas belum mampu mengemban amanat Pasal 22 Undang Undang Nomor 24 tahun 2011.
“Selain itu, ada beberapa program yang dilakukan direksi BPJS Naker yang tidak signifikan mendukung capaian organisasi, seperti pembukaan 150 kantor cabang yang ternyata tidak signifikan meningkatkan kepesertaan. Demikian juga Sistem IT yang masih idle, belum berfungsi tapi sudah keluar biaya untuk biaya lisensi,” ungkap dia.
Apakah ada figur atau orang yang cocok dan berkomitmen menjadi Dewas BPJS Ketenagakerjaan yang pro buruh?
Timboel menyampaikan, dari 4 calon Dewas dari unsur buruh, BPJS Watch menilai sosok Eko dan Ribawati layak untuk dipilih. Alasannya, kedua calon ini mampu dan mau berkomunikasi dengan buruh.
“Sedangkan dua calon lainnya, kami nilai tidak layak. Misal, Rekson Silaban sudah pernah menjadi Komisaris di PT Jamsostek, dan kami menilai, dia itu gagal. Rekson ini juga orang yang termasuk sulit dan tidak bisa berkomunikasi dengan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh,” ujar Timboel.
Sedangkan dari unsur pengusaha, Timboel menyampaikan, nama Adityawarman masih berterima di kalangan buruh, dikarenakan pria ini memiliki kemampuan serta memiliki komunikasi yang sehat dengan kalangan buruh.
“Poempida Hidayatulah juga dinilai cocok jadi Dewas dari unsur tokoh masyarakat. Selama menjadi anggota DPR di periode lalu, saudara Poempida mau berkomunikasi dengan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh,” ujar Timboel.
Sebelumnya, Kepala Urusan Komunikasi Eksternal BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja menyampaikan, pihak BPJS Ketenagakerjaan diawasi oleh auditor yang sangat banyak. Mulai dari auditor Negara dan auditor independen.
Dari audit yang sudah dilakukan para auditor itu terkait pengadaan IT BPJS, lanjut Utoh, tidak ditemukan adanya kejanggalan atau penyelewengan penggunaan anggaran BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi, tuntutan dan tudingan yang menyebut ada dugaan korupsi dalam pengadaan IT BPJS itu tidak berdasar. Tidak relevan dan tanpa data yang valid,” ujar Utoh.
Lebih lanjut, Utoh menjelaskan, semua tuntutan dan tudingan yang dialamatkan terhadap kinerja Direksi BPJS Ketenagakerjaan pun salah kaprah.
“Seperti, tudingan penyelewengan penggunaan dana BPJS. Kan ini soal tingkat suku bunga. Seharusnya di Benchmarch dengan tingkat suku bunga komersil. Lah, kita malah jauh di bawah itu,” ujarnya.
Meski pakai uang peserta, lanjut dia, namun ketentuan undang undang pun sudah mewajibkan BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan pengembalian dana.
“BPJS tetap harus lakukan pengembalian, dan nilai pengembaliannya harus setara atau lebih besar dari tingkat suku bunga Bank Pemerintah. Jadi, sampai kini, BPJS masih tetap kok mengelola dana itu dengan memperhatikan suku bunga yang dimaksud,” papar Utoh.
Kemudian, persoalan masa pengambilan Jaminan Hari Tua atau JHT bisa dilakukan setelah masa 10 tahun, menurut Utoh tidak sesederhana yang dipikirkan orang-orang. Sebab, pada faktanya, berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah, sudah sangat jelas kriteria dan prosedur pengambilan JHT.
“Kami di BPJS kan hanya pelaksana Undang Undang. Kalau regulasi kan itu pemerintah yang menetapkan. Nah, soal JHT 10 tahun, peserta bisa kok mengambil dananya dengan cara bertahap. Asalkan sudah ada 10 tahun. Pengambilannya yakni 10 persen untuk JHT dan 30 persen untuk biaya atau anggaran perumahan,” ujarnya.
Beberapa tahap pengambilan dana peserta JHT itu tidak diharamkan. Bahkan, lanjut Utoh, jika peserta itu pun hendak mengambil keseluruhan dananya, juga tidak dilarang.
“Pengambilan JHT secara bertahap bisa. Itu sesuai ketentuan PP Nomor 46 tahun 2015. Juga, untuk pengambilan seluruhnya pun dimungkinkan sesuai PP Nomor 60 tahun 2015, dengan syarat si peserta resign atau mengundurkan diri atau karena persoalan permanen lainnya. Jadi, apa yang dilakukan BPJS tidak ada yang dilanggar. Semua sudah sesuai regulasi dan aturan perundang-undangan,” pungkas Utoh.(JR-1)