Kementerian Sosial digugat lantaran data keluarga miskin yang dikeluarkan tidak akurat dan malah semrawut.
Ketua Umum Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Marlo Sitompul menyampaikan, pihaknya menggugat data keluarga miskin di Indonesia yang dikeluarkan oleh Mensos.
Marlo menyampaikan, Rakyat Miskin di negeri ini mesti mengetahui bahwa saat pemerintah menyalurkan bantuan sosial seperti; Program Keluarga Harapan (PKH) dan Beras Sejahtera (Rastra)/ Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), pemerintah dengan sengaja membatasi jumlah rumah tangga miskin yang dijadikan sasaran.
“Akibatnya banyak rakyat miskin yang tidak menerima bantuan social,” ujar Marlo, di Jakarta, Selasa (23/01/2018).
Dia mengatakan, pembatasan tersebut sengaja dilakukan karena pemerintah lebih memprioritaskan anggaran membayar cicilan hutang luar negeri dan membiayai proyek pembangunan infrastruktur.
“Kepentingan yang hanya mengutungkan para pengusaha dan pemilik modal,” ujarnya.
Untuk menutupi hal tersebut, lanjut dia, pemerintah membuat siasat dengan cara mengurangi jumlah rakyat miskin.
“Siasat yang digunakan diantaranya adalah dengan membuat metode dan cara perhitungan yang hanya diketahui pemerintah dan tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat,” ujarnya.
Marlo mengungkapkan, pada tahun 2015 dan 2017 pemerintah melalui kementerian sosial dan BPS melakukan suvei rumah tangga miskin. Hasilnya didapat jumlah rumah tangga miskin sebanyak 40% dari jumlah penduduk Indonesia, yakni sebanyak 28,4 Juta Keluarga atau 96 Juta jiwa.
Selanjutnya, pemerintah semakin membatasi dengan menetapkan bahwa program PKH hanya diperuntukan bagi keluarga sangat miskin dan program Rastra diperuntukan bagi keluarga yang sangat miskin dan miskin.
Dikatakan Marlo, pemerintah melalui Kemensos, tanpa melibatkan rakyat, mengumumkan bahwa berdasarkan survei peringkat kesejahteraan terhadap 40% jumlah keluarga miskin dan hampir miskin.Ditetapkan sebanyak 10% sebagai keluarga yang sangat miskin dan berhak mendapatkan PKH. Dan 25% ditetapkan sebagai keluarga yang sangat miskin dan miskin dan berhak mendapatkan RASTRA. Selanjutnya ada sebanyak 15% keluarga hampir miskin dianggap tidak pantas mendapatkan PKH dan Rastra.
Padahal, lanjut dia, di tengah keadaan ekonomi saat ini, beban hidup antara warga yang dianggap hampir miskin dan miskin memiliki perbedaan yang cukup tipis.
“Sedikit saja terjadi kenaikan harga-harga maka keluarga yang disebut hampir miskin akan tergelicir ke dalam kemiskinan,” ujar Marlo.
Marlo menyampaikan, berdasarkan temuan lapangan SPRI, terhadap data penerima PKH dan Rastra diketahui banyak masalah seperti tidak termasuk kategori miskin dan tidak jelas keberadaannya
“Sebagian besar warga miskin tidak pernah mengetahui kapan survei dilakukan oleh Kemensos dan lembaga terkait. Warga menduga survei yang dilakukan tidak sesuai ketentuan. Hanya mengandalkan informasi yang didapat dari RT atau Tokoh masyarakat,” ujarnya.
Marlo menyampaikan, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan Fakir Miskin menyatakan bahwa seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lainya yang sejenis di tempat tinggalnya.
Atau dengan kata lain, rakyat miskin harus dilibatkan dalam hal pengumpulan data rumah tangga yang akan dijadikan acuan sebagai penerima program.
“Rakyat miskin juga berhak dilibatkan dalam hal proses perbaikan dan penambahan data calon penerima program,” tuturnya.
Masih menurut Undang Undang itu, lanjut Marlo, rakyat miskin dapat ikut serta terlibat dalam proses pengajuan data, melalui melaporkan diri kepada kepala desa atau lurah. Selanjutnya lurah akan menyampaikan pendaftaran sebagaimana diajukan warga miskin kepada Bupati/ Walikota melalui camat.
“Kenyataan lapangan membuktikan banyaknya lurah dan camat yang tidak mengetahui mekanisme ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, Marlo menegaskan, ada sejumlah masalah terkait rakyat miskin yang harus digugat kepada Presiden Jokowi dan Kemensos.
“Terutama terkait data keluarga miskin yang menjadi acuan penerima program PKH dan Rastra,” ujarnya.
Pertama, menolak target keluarga miskin yang ditetapkan sebagai penerima PKH dan RASTRA dibatasi hanya 10-25%. Padahal ada 40% jumlah keluarga miskin yang seharusnya menerima program tersebut.
Kedua, memprotes Kemensos yang tidak partisipatif dalam menetapkan jumlah keluarga miskin yang hanya terbatas kepada 10%-25%.
Ketiga, memprotes Anggaran Negara Yang Sangat Kecil untuk rakyat miskin. “Diketahui bahwa pembatasan jumlah keluarga miskin penerima PKH dan Rastra dilakukan berdasarkan jumlah anggaran Negara yang sudah ditetapkan oleh Presiden dan DPR RI,” ujar Marlo.
Dia pun mengatakan bahwa rakyat harus mempertanyakan kembali jumlah keluarga miskin yang diklaim pemerintah sebanyak 40% dari jumlah penduduk Indonesia. Mengingat banyak kalangan akademisi dan peneliti yang meragukan metode atau cara pemerintah menentukan jumlah keluarga miskin.
Perlu ditegaskan, lanjut dia, Undang-undang dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa pemerintah wajib memajukan kesejahteraan umum. Juga tegas dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
“Adalah sangat bertentangan dengan perintah undang-undang dasar 1945 jika pemerintah membatasi jumlah penerima bantuan sosial seperti PKH dan Rastra,” tuturnya.
Oleh karena itu, Marlo menyerukan agar rakyat miskin, baik yang telah menerima bantuan sosial maupun yang belum menerima harus bersatu dalam serikat perjuangan.
“Rakyat miskin harus bergerak menuntut agar pemerintah Jokowi memperbaiki tata-cara menentukan jumlah keluarga miskin. Dan dalam prosesnya pemerintah haruslah melibatkan rakyat miskin. Tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan rakyat,” ujarnya.
Selanjutnya, aksi protes atau unjuk rasa harus dilancarkan oleh rakyat miskin. “Membiarkan hal ini terus terjadi, hanya ngedumel dalam hati bukanlah cara yang tepat untuk merubah kebijakan yang berkaitan dengan hak rakyat miskin,” ujar Marlo.
Marlo juga mengajak warga miskin untuk bergabung bersama SPRI. Menurut dia, Rakyat Miskis harus bersama-sama menuntut pemerintah untuk segera memperbaiki data penerima bantuan social, dan menuntut agar pemerintah memperbesar anggaran untuk kesejahteraan rakyat miskin.
“Pemerintah tidak perlu membayar cicilan hutang luar negeri. Perlu memotong gaji para pejabat seperti gaji Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati dan anggota DPR RI, untuk membiayai program penanganan fakir miskin,” pungkas Marlo.(JR)