Presiden Joko Widodo disebut bersikap abu-abu alias tidak tegas dalam penanganan pandemic Virus Corona atau Covid-19.
Pengamat Budaya Jawa yang juga Direktur Politika Institute, Zainul A Sukrin melihat sikap dan tindakan Presiden Joko Widodo dari pendekatan Budaya Jawa yang sarat dengan pendekatan mistis, kekuasaan dan kesaktian.
“Agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan. Joko Widodo harus menjaga kewibawaannya. Dapat melembagakan sikap politik dengan jelas dan tidak abu-abu. Termasuk segera memperoleh vaksin ekonomi maupun vaksin pandemi Covid-19 untuk mengatasi dan menyudahi penderitaan,” tutur Zainul A Sukrin, Senin (30/03/3030).
Menurutnya, tujuannya agar tetap menjaga keseimbangan hidup dan kekuasaan. Termasuk mewujudkan kebaikan, kebahagian, dan ketentraman hidup.
Zainul menerangkan, sepintas, dinamika kekuasaan di Indonesia tidak bisa terlepas dari gagasan politik Jawa tradisional. Diterima atau ditolak sebagai kebenaran atau kebetulan, budaya Jawa tradisional terpatri di dalam tindakan dan pertimbangan politik.
Dalam gagasan budaya Jawa tradisional, kekuasaan disenyawakan dengan kesaktian (kesakten). Kesaktian sendiri sifatnya sinkretis dan atau mistis.
Mengulas gagasan kekuasaan dalam budaya Jawa tradisional, pasti merujuk penelitian yang dilakukan oleh Benedict Anderson selama 25 tahun di Jawa. Zainul mencoba mengkontekstualisasikan tulisan Benedict Anderson dalam situasi bangsa yang sedang dihinggapi ketakutan karena Covid-19.
“Dalam budaya Jawa tradisional segala peristiwa saling berhubungan dan konsistensi tradisi dalam ikatan sosial. Terutama relasinya dengan kekuasaan,” katanya.
Kesimpulan gagasan kekuasaan dalam budaya Jawa tradisional yaitu kekuasaan atau kesaktian itu homogen, nyata, jumlahnya tetap, dan tanpa implikasi moral yang inheren.
Kekuasaan atau kesaktian sendiri dapat diwujudkan, disimbolkan, dibentuk, dan dilembagakan dalam pusaka, atau dalam benda kramat lainnya. Kekuasaan akan terpancar kuat jika pusaka tetap ada dan konstan.
“Dan kekuasaan atau kesaktian juga akan meredup, jika pusakanya hilang, dicuri atau tidak dalam genggaman,” katanya.
Zainul mengatakan, setidaknya pandemi Covid-19 dalam budaya Jawa tradisional tetap dinilai dengan hal yang mistis. Karena masyarakat Jawa percaya bahwa gangguan ketidakseimbangnya kehidupan dapat berbentuk seperti wabah penyakit, bencana alam, dan paceklik.
“Dan pandemi Covid-19 sebagai bentuk nyata gangguan ketidakseimbangan kehidupan itu,” katanya.
Ketidakseimbangan kehidupan sebagai penderitaan. Penderitaan harus diakhir untuk mewujudkan ketenangan dan ketentraman hidup.
Jika wabah dan berbagai bentuk lain dari ketidakseimbangan kehidupan tidak dapat diatasi, maka dapat mengusik keseimbangan kekuasaan atau kesaktian. Masyarakat akan menguji sejauh mana pengaruh kekuasaan dalam mengatasi wabah yang menciptakan ketakutan dan kegelisahan tersebut.
Pengujian kesaktian atau kekuasaan dilakukan karena legitimasi yang dicurahkan pada penguasa yaitu legitimasi religius. Kekuasaan dan kesaktian penguasa diikat oleh nilai dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa.
Dan penilaian yang paling buruk dari gangguan kehidupan yang timbul yaitu sebagai kutukan. Label buruk kutukan ialah dapat mengarahkan pada delegitimasi kekuasaan atau tanda kesaktian penguasa memudar.
“Saat kesaktian memudar dan hilang, maka kewibawaan penguasa runtuh seketika,” imbuh Zainul.
Nilai kebenaran dari budaya Jawa tradisional bagi sebagian orang, dianggap tidak lagi relevan. Perkembangan dan perubahan sosial sedikit membuka nalar dan jiwa kritis masyarakat.
Akan tetapi, dengan perkembangan dan perubahan sosial tersebut tidak lantas melunturkan semua nilai budaya yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Termasuk saat ini, masyarakat membutuhkan kewibawaan penguasa. Penguasa dapat menentukan sikap politik yang jelas dan bijaksana. Tujuannya ialah mewujudkan ketenangan dan tentramnya hidup masyarakat.
Pandemi Covid -19 merupakan ujian berat Joko Widodo saat ini. Pandemi tersebut harus dapat diatasi segera mungkin. Wabah Covid-19 jangan tersebar dan membunuh masyarakat dengan skala luas.
“Jika masyarakat dihinggapi oleh rasa ketakutan dan kegelisahan yang berlarut-larut, dapat berdampak buruk. Pandemi ini cenderung dapat meruntuhkan kewibawaan dan pengaruh penguasa,” cetusnya.
Dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 yaitu menyebabkan resesi atau kemerosotan ekonomi. Resesi ekonomi tersebut yaitu kondisi perekonomian yang tumbuh negatif selama dua kuartal atau berturut-turut.
Kondisi tersebut menyebabkan permintaan melemah, termasuk penjualan dan pendapatan bisnis menurun, kegiatan ekonomi tidak berkembang atau berhenti, banyak perusahaan rugi dan gulung tikar, kelaparan dan pengangguran membludak.
Saat ini, nilai tukar rupiah pada dolar Amerika sudah sampai angka Rp 16.000-sekian. Jika pandemi ini terus terjadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 2.5 % bahkan sampai 0 %. “Situasi ini menjadi ancaman serius,” ujar Zainul.
Sepertinya kelaparan dan krisis tidak dapat dihindari jika terjadi kemerosotan ekonomi. Dalam istilah masyarakat Jawa situasi tersebut sebagai penderitaan hidup, atau bencana dan malapetaka.
“Pada puncaknya, masyarakat menuntut penguasa untuk menanggung beban hidup atau penderitaannya. Masyarakat juga dapat menukar penderitaannya dengan kekuasaan dan kewibawaan penguasa. Dengan tujuan untuk mencari keseimbangan baru. Runtuhnya Soeharto tahun 1998, sebagai contoh formasi keseimbangan baru,” tutur Zainul.
Karena itulah, lanjutnya, Joko Widodo hendaknya menjaga kewibawaannya sebagai Presiden. Bersikaplah yang jelas dan tidak abu-abu.
“Sekali lagi, termasuk segera memperoleh vaksin ekonomi maupun vaksin pandemi Covid-19 untuk mengatasi dan menyudahi penderitaan. Dan tujuannya agar tetap menjaga keseimbangan hidup dan kekuasaan. Termasuk mewujudkan kebaikan, kebahagian, dan ketentraman hidup,” tandas Zainul.(JR)