Hampir dua ratus ribuan nelayan di berbagai daerah di Indonesia tidak bisa melaut. Karena itu, pemerintah diharapkan segera turun tangan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Ketua Bidang Penggalangan dan Partisipasi Publik Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Misbahul Munir menyampaikan, nelayan di beberapa daerah yang sudah tidak bisa melaut antara lain Lombok Barat dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat denganb jumlah nelayan sebanyak 16.745 nelayan, Batang, Jateng sebanyak 10.000 nelayan, Paciran, Lamongan, Jawa Timur 28.154 nelayan, Gresik, Jawa Timur 5.800 nelayan, Sidoarjo, Jawa Timur sebanyak 1.700 nelayan, Surabaya, Jawa Timur sebanyak 2.800 nelayan, Madura, Jawa Timur sebanyak 80.000 nelayan dan Kabupaten Malang (kecamatan Sumbermanjing) sebanyak 3.589 nelayan.
“Total sementara jumlah nelayan yang tak bisa melaut yang kami data mencapai 148.788 nelayan. Hampir dua ratus ribuanlah,” ujar Musbahul Munir, di Jakarta, Selasa (14/02/2017).
Misbahul menerangkan, kondisi alam dan cuaca ekstrim membuat nelayan tradisional tidak sanggup melaut. Karena itu, dia meminta pemerintah turun tangan dalam menyikapi cuaca ekstrem yang melanda sepanjang pesisir.
“Badai angin dan gelombang pasang yang tingginya mencapai 1- 2,5 meter berdampak besar terhadap kehidupan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir,” ujar dia.
Berdasarkan laporan jaringan KNTI di lapangan, ungkap Misbahul Munir, sejak awal Februari 2017 lalu gelombang tinggi mencapai lebih dari dua meter melanda pesisir utara Jawa hingga Nusa Tenggara Barat.
Cuaca ini telah mengakibatkan sekitar 16.745 nelayan yang berada di Lombok Barat dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat sehingga tidak bisa melaut. Demikian juga, ribuan nelayan di sepanjang pantai Utara Jawa dalam seminggu tidak bisa melaut karena cuaca ekstrim di musim angin barat ini.
Di Batang, Jawa Tengah, sekitar 10.000-an nelayan tidak bisa melaut karena gelombang mencapai 1 – 2,5 meter. Di Jawa Timur mulai dari Paciran, Lamongan sebanyak 28.154 nelayan, sedang dari Gresik ada skitar 5.800 nelayan, di Sidoarjo ada sekitar 1.700 nelayan, sedang di Surabaya 2.800 nelayan, Madura lebih dari 80 ribu nelayan, dan dari malang selatan sendang biru kecamatan Sumbermanjing ada 3.589 nelayan tidak bisa malaut sejak 10 hari yang lalu.
“Dan nelayan yang beraktivitas di Selat Madura, sudah 6 hari ini tidak bisa melaut, dangan rata-rata kerugian perhari mencapai Rp.300.000 per nelayannya. Belum termasuk nelayan yang dari Tuban, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, jember dan di daerah lainnya. Diperkirakan angka ini lebih besar dari total sementara yang mencapai 148.788 nelayan,” kata dia.
Ketua KNTI Surabaya Ahmad Syukron mengatakan, kelompok perempuan yang paling rentan merasakan dampak dari perubahan iklim karena harus memikul beban berganda yakni sebagai pengelola keuangan dan mencari nafkah dari sumber lain disaat suami tidak bisa melaut. Namun, Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan tidak menjawab persoalan mereka.
“KNTI meminta pemerintah menetapkan status bencana nasional untuk memastikan adanya bantuan kepada nelayan tradisional dan masyarakat pesisir baik laki-laki dan perempuan,” ujar Ahmad.
Ketua KNTI Lombok Timur Amin Abdullah menambahkan, pemerintah musti bergotong royong untuk memenuhi hak-hak dasar nelayan dalam proses tanggap darurat bencana, dan segera melakukan rehabiltasi dan rekonstruksi paska bencana terhadap sumber-sumber penghidupan nelayan tradisional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Perlindungan Nelayan.
“Nelayan terpaksa berhenti melaut akibat tingginya gelombang dalam satu minggu terakhir yang diperkirakan akan berlangsung hingga dua bulan kedepan. Disaat tidak bisa melaut, para keluarga nelayan tidak mendapatkan pemasukan ekonomi apapun dan seringkali keluarga nelayan terjerat utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Amin.(JR)