Sejak awal pembentukan Kabinet Keja milik Presiden Jokowi dianggap tak pernah berpihak kepada buruh Indonesia. Boro-boro adanya reshuffle jilid I dan jilid II, Jokowi dianggap kian menyengsarakan kehidupan buruh Indonesia.
Jadi, adanya pergantian sejumlah pemain di dalam cabinet Kerja milik Jokowi dengan dilakukannya reshuffle jilid II, tidak juga mampu mendongkrak kepercayaan buruh akan adanya perbaikan nasib dan kehidupan buruh Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, respon buruh terhadap reshuffle kabinet jilid II tidak ada yang positif bagi buruh.
“Dari mulai pertama kali pembentukan kabinet sampai ke reshuffle jilid II, buruh tetap berpendapat, itu semua lebih kepada kepentingan pemilik modal. Kita tidak melihat orangnya, tapi yang kita lihat kebijakannya. Apa yang disebut kebijakan presiden dan wakil presiden yang mementingkan hak rakyat?” ujar Said Iqbal saat ditemui Sinarkeadilan di Kantor Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), di bilangan Jakarta Timur, Rabu (27/7/2016).
Iqbal menjelaskan, hak rakyat miskin telah dikebiri. Perekonomian dan kesejahteraan buruh dan masyarakat semakin terpuruk.
“Tidak ada lagi subsidi. BBM (Bahan Bakar Minyak) tidak ada subsidi, kemudian solar juga tidak ada subsidi. Semua ditaruh dalam mekanisme pasar, kesejahteraan masyarakat dan buruh tidak ditingkatkan,” kata dia.
Kebijakan kabinet, menurut Iqbal, termasuk yang baru dilantik, tidak bisa memberikan solusi untuk buruh. Apalagi, kata dia, Menaker tidak ikut di-reshuffle. Kebijakan upah murah pun dikeluarkan kembali oleh pemerintah.
“Itu kan jaman rezim Soeharto. Kebijakan upah murah itu di jaman Susilo Bambang Yudhoyono sudah tidak ada lagi, lah kok sekarang malah balik lagi ke masa Soeharto,” ujar Said Iqbal.
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, upah murah diterapkan kembali dan hak berunding buruh bersama pemerintah dan pengusaha dihapuskan.
“Kalau serikat buruh tidak lagi punya hak berunding, berarti dia (buruh) tidak punya lagi kemampuan menegosiasikan upah,” jelasnya.
Kebijakan lainnya, ungkap Iqbal, elemen buruh tidak terlalu optimis adanya perbaikan kesejahteraan buruh, karena kebijakan pemerintah sangat pro terhadap pemodal.
“Dua belas paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, semuanya melindungi pengusaha. Tidak ada satupun yang melindungi buruh,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan Bank Dunia melansir angka Ginirasio (mengukur pendapatan tertinggi dan pendapatan terendah) mengenai kondisi Indonesia. “Kalau ginirasio makin besar, itu berarti gap antara orang miskin dan orang kaya makin lebar, kesenjangan pendapatan jauh berbeda,” kata dia.
Angka ginirasio, saat ini sudah diangka 0,42. Jauh lebih besar dibandingkan jaman presiden-presiden sebelumnya seperti, era Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Pak Habibie apalagi jaman Pak Soeharto.
“Jaman Soeharto itu diangka 0,25 sampai 0,3. Kita sekarang 0,42. Berarti yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,” bebernya.
Iqbal menegaskan, reshuffle kabinet tidak menjawab persoalan yang dihadapi di lapangan. Kebijakan pemerintahan Jokowi, tambah dia, terlalu pro modal dan mengabaikan hak-hak buruh, maupun masyarakat menengah ke bawah.
Iqbal meminta pemerintah, agar segera mampu menjaga keseimbangan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah, termasuk kaum buruh.
Jaminan sosial dan kesehatan, tambah dia, harus ditingkatkan anggarannya. Sesuai undang-undang, 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Sekarang kan belum, kalau lima persen dari APBN gratis. Yang kedua, pemerintah harus menekan angka ginirasio. Jadi bukan mengecilkan angka kemiskinan saja, tapi ginirasio kesenjangan pendapat itu juga harus dikecilin,” pungkas dia.(Jimmi)