Para pekerja di tempat rawan kecelakaan diminta mendapat perlindungan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker).
Oleh karena itu, BPJS Naker harus memberikan jaminan kepada pekerja yang memiliki resiko kecelakaan.
Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS Hery Susanto mengatakan, program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) memang sudah ada. Namun, ada program return to work (RTW) BPJS Naker yang juga harus meng-covernya.
Hal itu disampaikan Hery dalam Sosialisasi Program Jaminan Kecelakaan Kerja Return to Work (JKK-RTW) BPJS Ketenagakerjaan, sekaligus peringatan Hari Buruh Internasional yang digelar oleh Masyarakat Peduli BPJS (MP BPJS) dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) Wilayah Cirebon di Aula BLK Plumbon, Kabupaten Cirebon, Kamis (10/5/2018).
Hery mengatakan, pendampingan bermula sejak terjadinya musibah kecelakaan kerja hingga pekerja bekerja kembali. Tujuan program ini adalah untuk memastikan pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dapat kembali bekerja, tanpa menghadapi resiko pemutusan hubungan kerja karena kecacatan yang dialaminya.
Diingatkan dia, potensi bahaya di tempat kerja seperti dampak penggunaan mesin, alat kerja, bahan dan faktor lingkungan kerja harus diantisipasi. Potensi itu bisa mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
“Perlindungan menyeluruh di lingkungan kerja merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan pekerja,” kata Hery Susanto.
Oleh karenanya, pelaksanaan JKK-RTW oleh BPJS Ketenagakerjaan, harus didukung semua pihak. Pemerintah juga dituntut menerbitkan regulasi agar program terimplementasi sesuai harapan. Apalagi program itu sangat strategis mendukung Pasal 153 ayat (1) huruf (j) UU Ketenagakerjaan yang intinya melarang pengusaha memutus hubungan kerja buruhnya yang mengalami cacat atau sakit akibat hubungan kerja.
“Pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan,” kata Hery Susanto.
Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, kata dia, hal itu juga sejalan dengan UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yakni perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan serta perlakuan sama kepada penyandang disabilitas dengan mempekerjakan penyandang disabilitas di perusahaannya.
“Ini disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, tingkat pendidikan dan kemampuannya. Setiap perusahaan harus mempekerjakan minimal 1 penyandang cacat untuk setiap 100 orang pekerja,” ujarnya.
Kegiatan sosialisasi diikuti Balai Pelayanan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Pemprov Jabar Kusmayadi, Kabid Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Cirebon Eneng Siti Hasanah, Staf BPJS Ketenagakerjaan Pusat Bayu Permana, Kadisnaker Pemkab Cirebon Abdullah, Anggota DPRD Kabupaten Cirebon Supirman, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) Pusat Agus Humaidi Abdullah, Ketua FSPS Cirebon Amal Subkhan, Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Cirebon Asep Sobarudin.
Peserta kegiatan sebanyak 200 orang dari unsur ormas MP BPJS, FSPS dan serikat pekerja se wilayah Cirebon.
Dalam kegiatan itu disampaikan pembayaran klaim Rp 24 juta jaminan kematian BPJS ketenagakerjaan kepada anggota MP BPJS Cirebon bernama Tan Boen Hoei warga Desa Sutawinangun, Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon. Juga dilakukan penyerahan draft Raperda Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan versi MP BPJS kepada Supirman selaku Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Cirebon.
Bayu Permana selaku staf BPJS Ketenagakerjaan Pusat mengatakan, program RTW mulai bergulir ketika peserta mengalami kecelakaan kerja dan mendapat penanganan kuratif di RS Trauma Center melalui manajer Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (KK PAK).
“Apabila pekerja itu dinyatakan cacat maka ada proses rehabilitasi yang disetujui secara tertulis oleh perusahaan dan pekerja yang bersangkutan,” kata Bayu Permana.
Ia menambahkan, manager KK PAK mendampingi peserta dalam proses return to work. Manager tersebut memantau pengobatan dan perawatan yang tepat dan efektif bagipeserta serta memfasilitasi percepatan proses pemulihan.
Setelah rehabilitasi tuntas, manager KK PAK memberikan pelatihan pasca kecacatan dan memotivasi peserta agar dapat bekerja kembali secara normal.
Jika upaya itu tidak mampu mengembalikan peserta bekerja kembali pada posisi semula, manager KK PAK akan mencarikan solusi lain. Misalnya, memberikan pelatihan dan keterampilan khusus yang sesuai agar peserta dapat bekerja di unit kerja lain di perusahaan yang sama.
Ketua FSPS Cirebon, Amal Subkhan mengatakan, selama ini, pekerja yang mengalami cacat atau sakit akibat kecelakaan kerja selalu berujung pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini memberatkan masa depan pekerja yang bersangkutan.
Pemerintah harus menekankan pentingnya pekerja yang cacat akibat kecelakaan kerja untuk tetap bisa bekerja kembali dengan keterbatasan yang ada.
“Masalahnya, pengusaha cenderung menolak penyandang cacat di tempat kerja dengan dalih produktivitas. Sosialisasi dan penegakan hukum perlu dilakukan terkait ketentuan UU Ketenagakerjaan. Pemerintah Daerah se-wilayah Cirebon perlu membangun Balai Latihan Kerja khusus bagi penyandang cacat,” katanya.
Melalui program jaminan kecelakaan kerja (JKK) ada program Return To Work (RTW) BPJS Ketenagakerjaan. Peserta akan mendapatkan pendampingan ketika mengalami kecelakaan kerja yang berakibat cacat atau berpotensi cacat.(JR)