Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengakui hak hak perempuan nelayan dengan memasukkannya di dalam pembahasan Rancangan Undang UndangPerlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI diminta untuk segera memberikan ruang dan waktunya agar memasukkan hak hak perempuan nelayan dalam rancangan undang undang yang sedang dibahas itu.
Sekjen Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah dalam keterangan persnya terkait hari Perempuan Internasional menyampaikan, sebetulnya pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang sudah masuk dalam Prolegnas itu disambut baik oleh masyarakat pesisir antara lain nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir. Namun kepastian bahwa pengakuan hak hak perempuan nelayan belum sepenuhnya masuk dalam pembahasan.
“Harusnya, bersamaan dengan perayaan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret, maka RUU ini menjadi momentum bagi negara untuk memberikan politik pengakuan kepada perempuan nelayan,” ujar Masnuah, di Jakarta.
Sayangnya, lanjut dia, perempuan nelayan sebagai aktor penting di sektor perikanan dan per-garaman, hingga hari ini belum diakui oleh negara dan hanya sebagai pelengkap di dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang akan diundangkan sebelum masa reses DPR.
“Dengan tidak diakuinya perempuan nelayan di dalam kebijakan nasional, maka tidak ada skema perlindungan dan pemberdayaan yang diperuntukkan bagi perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam sebagai perwujudan politik pengakuan negara,” ujarnya.
Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyampaikan, sikap negara Indonesia yang belum mengakui hak-hak perempuan nelayan itu bertolak belakang dengan kesepakatan di level internasional yang telah dicapai dan diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengamanatkan negara untuk hadir dan memenuhi hak-hak dasar perempuan.
Susan menjelaskan, CEDAW menyebutkan sepuluh hak perempuan nelayan/pembudidaya/petambak garam yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu, satu, hak untuk bekerja; dua, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja yang baik; tiga, hak untuk mengakses dan mendapatkan pendidikan yang layak; empat, hak untuk mendapatkan jaminan sosial; lima, hak untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan (formal dan informal); enam, hak untuk berorganisasi dan mendirikan koperasi sebagai wadah perjuangan kesetaraan; tujuh, Hak berpartisipasi di dalam seluruh aktivitas masyarakat; delapan, hak untuk mendapatkan kredit perikanan, pelayanan pemasaran, dan teknologi;Sembilan, hak atas tanah; dan sepuluh, hak untuk memperoleh rumah, sanitasi, listrik, air bersih, dan transportasi.
Selanjutnya, dikatakan Susan, ketiadaan pengakuan perempuan nelayan di dalam RUU tersebut juga bertentangan dengan Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Konteks Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan (Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication).
“Di dalam dokumen ini disebutkan bahwa negara wajib memperlakukan perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam secara istimewa untuk mendapatkan 11 hak dasarnya,” ujar Susan.
Ke-sebelas hak itu adalah, Perumahan yang layak; Sanitasi dasar yang aman dan higienis; Air minum yang aman untuk keperluan individu dan rumah tangga; Sumber-sumber energi; Tabungan, kredit dan skema investasi; Mengakui keberadaan dan peran perempuan dalam rantai nilai perikanan skala kecil, khususnya pasca panen; Menciptakan kondisi bebas dari diskriminasi, kejahatan, kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan; Menghapuskan kerja paksa; Memfasilitasi partisipasi perempuan dalam bekerja; Kesetaraan gender merujuk CEDAW; dan Pengembangan teknologi untuk perempuan yang bekerja di sektor perikanan skala kecil.
Dikatakan Susan, saat ini, KIARA bersama PPNI/Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia, organisasi yang diinisiasi KIARA dan menjadi wadah pergerakan perempuan nelayan di Indonesia, terus mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menyegerakan politik pengakuannya.
“Di antaranya melalui pesan utama bahwa Negara Mesti Berikan Politik Pengakuan dan Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan Nelayan,” ujarnya.
Dikatakan Susan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam menjadi harapan bagi semua perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam di seluruh Indonesia.
“Tanpa memuliakan perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam, cita-cita Pembukaan UUD 1945 tidak akan mudah diwujudkan,” pungkasnya.(JR-1)