Pemerintah dinilai tidak responsif menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi akibat lahan-lahan eks tambang yang memakan korban jiwa.
Masalah demi masalah akan terus terjadi dan berlipat-lipat, jika tidak ada upaya serius dari pemerintah mengambil langkah tegas. Mulai dari persoalan ijin, persoalan hukum hingga proses-proses kebijakan yang tidak menyelesaikan masalah akan terus terjadi.
Pakar Ekonomi Lingkungan dan Energi Universitas Parahyangan (Unpar) FH Husin memaparkan, dalam minggu ini saja, sudah bertambah lagi anak meninggal dunia di lubang tambang.
Jika pemerintah menganggap persoalan ini sepele tanpa langkah konkrit, maka masyarakat akan marah dan melawan karena tidak mau anak-anak mereka dan mereka sendiri menjadi korban selanjutnya.
“Persoalan-persoalan di lahan-lahan tambang kian menggunung. Sudah terakumulasi persoalan-persoalan yang tak kunjung mendapat penyelesaian yang efektif. Bahkan anak-anak meninggal dunia di lubang-lubang tambang. Ini akan merembet kemana-mana loh. Sayang sekali, pemerintah lamban merespon, dan belum memberikan solusinya,” tutur FX Husin, Jumat (09/11/2018).
Dia mengingatkan, persoalan lahan eks tambang banyak solusinya. Pemerintah tidak perlu pusing. Hanya kemaun dan tidak selalu memikirkan kepentingan sepihak yang harus dikedepankan untuk menyelesaikannya.
“Kita sudah sampaikan, lahan-lahan eks tambang bisa diperbaiki dan diolah supaya menghasilkan bagi masyarakat, aman bagi penduduk dan lingkungan, serta menjadi pemasukan yang besar bagi kas negara. Tetapi ya sampai sekarang dibiarkan begitu saja tuh,” ujar Husin.
Husin menyampaikan, jika diprediksi ada sekitar 4 juta hektar lahan eks tambang dan lahan kritis dibiarkan begitu saja, maka negara dan masyarakat Indonesia rugi. Selain itu, lingkungan pun rusak karena tidak diperbaiki.
“Padahal, lahan-lahan itu bisa dikelola dengan model Perkebunan Inti Rakyat atau PIR misalnya. Pemerintah melalui para ahli bisa melakukan rehabilitasi, vegetasi dan berbagai jenis formula yang bermanfaat menjadikan lahan bekas tambang itu supaya menghasilkan,” ujarnya.
Lagi pula, lanjut Husin, masyarakat mesti dilibatkan langsung mengelolanya dengan PIR, pemerintah mengatur regulasi dan para pemodal ikut pola dan sistem yang ada.
“Lingkungan bisa dinormalisasi kembali. Masyarakay hidup aman tanpa kecelakaan karena mati ke lubang tambang. Pengangguran berkurang karena masyarakat bekerja dilibatkan langsung. Mereka juga pasti akan merawat dan menjaga lahan dan alam,” tutur Husin.
Bahkan, lanjut Husin, keluhan pemerintah mengenai ancaman krisis energi, termasuk ancaman krisis pangan bisa diatasi.
“Lahan-lahan itu nantinya bisa ditanami padi, tebu, jagung, pohon-pohonan keras yang produktif dan lain sebagainya. Itu juga jadi bahan-bahan dasar nantinya untuk energi terbarukan, juga menghasilkan untuk pangan. Tak perlu impor pangan lagi nanti,” bebernya.
Menurut Husin, hanya political will pemerintah saja yang lemah. Karena itu, dia berharap, pemerintah segera bertindak dan jeli mengatasi persoalan-persoalan itu.
“Kalau enggak tahu ya banyak toh pakar yang mengerti. Kita pun bisa bantu pemerintah dan mewujudkannya kok,” ujarnya.
Korban tewas di lubang bekas tambang batubara di Kalimantan Timur terjadi lagi. Adalah Ari Wahyu Utomo (13), pelajar MTs Al Masyhuriyah, Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, yang menjadi korban ke-31 pada Minggu (4/11/2018), pukul 14.30 Wita.
Ari tenggelam di konsesi yang diduga milik PT Bukit Baiduri Energy (BBE), di Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jarak lubang hanya 400 meter dari permukiman warga.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang mengatakan, menurut kesaksian teman-teman korban, sebelum tenggelam, Ari bermain dengan delapan temannya.
Mereka masuk ke areal tambang dan berenang. Di sana tidak dipasang plang bahaya, tidak ada pagar pembatas dan juga tanpa petugas keamanan. “Korban meregang nyawa di lubang tersebut,” kata Rupang.
Pada 26 Maret 2016, kolam tambang milik PT BBE ini juga menewaskan dua pelajar yakni Noval dan Diky Aditya. Hingga kini, keadilan untuk dua korban tidak ada bahkan jumlahnya bertambah.
Jatam dan Walhi Kaltim sepakat, menuntut IUP PT BBE dicabut dan perusahaan diproses hukum karena terbukti lalai dan bersalah.
“PT BEE melakukan pembiaran dan tak membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” jelasnya.
Selama ini, kata Rupang, respon pemerintah pada korban-korban tambang tidak pernah serius. Meski sudah berganti kepala daerah, namun kematian terus berlanjut.
“Sikap Gubernur Kalimantan Timur sangat menyedihkan dan sikap Presiden Jokowi sebatas melimpahkan urusan ke Gubernur. Kekecewaan kami semakin bertambah,” ujarnya.
Selama ini, lanjut dia, Presiden Jokowi belum pernah bicara keselamatan rakyat dari ancaman lubang kematian, meski sudah tiga kali datang. “Sepertinya, Kaltim dikondisikan sebagai medan lubang tambang. Anak-anak yang dekat tambang, tinggal menunggu waktu,” ujarnya.
Demikian pula dengan sikap gubernur, bupati dan wali kota di Kaltim. Rupang beranggapan, para kepala daerah tidak mementingkan nyawa rakyatnya, lebih tergiur pada investasi. Tak ada terobosan penanganan korban.
Meski berulang kali reklamasi dijanjikan namun dipastikan belum ada perusahaan yang menutup lubang-lubang bekas galian. “Apa terobosan luar biasa Presiden terkait penanganan kasus lubang tambang? Demikian juga Gubenur Kaltim yang baru, apa solusinya? Jangan sampai kami hanya jadi pengingat tanpa ada solusi dari pemerintah,” tegasnya.
Rupang mengingatkan, korban-korban tenggelam di lubang tambang bukan sekadar drama kematian yang selesai dengan tali asih. 31 korban itu generasi penerus bangsa yang mati sia-sia karena keteledoran penjahat korporasi. “Kami minta Presiden Jokowi bertindak,” ujarnya.(JR)