Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) secara dadakan, semakin menunjukkan kualitas para anggota DPR RI rendah.
Kritikan itu dilancarkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta (DPRD DKI Jakarta) Eneng Malianasari saat menjadi pembicara dalam Webinar Pancasila The Series 3: Siapa Sih Musuh Pancasila? Persfektif Perempuan, Senin malam (15/06/2020).
Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini merasa heran, kok bisa ada sebuah Rancangan Undang-Undang yang begitu sensitive dibahas secara dadakan, dan dipaksakan pada masa pandemi virus Corona atau Covid-19.
“Aneh, kok tiba-tiba ada pembahasan RUU HIP. Pancasila itu kan bisa dilihat dari 3 sisi. Sebagai ideologi, dasar Negara dan warisan leluhur atau juga way of life,” tutur Eneng Malianasari.
Jadi, kata dia, sebetulnya tak perlu dibikin dalam bentuk Undang-Undang lagi. Sebab sudah jelas, Pancasila sebagai ideologi dan Dasar Negara.
“Kalau menurut saya, pembahasan RUU HIP ini adalah hanya ulah segelintir orang yang ingin dapat projek daripada yang namanya Pancasila,” ucapnya.
Belum lagi masyarakat dan berbagai stakeholders, tidak mengetahui, atau malah buta sama sekali dengan agenda yang dirancang DPR bersama Pemerintah dalam pembahasan RUU HIP itu.
Nah, ini juga belum tahu. Apalagi masyarakat kita. Dalam hal ini, menurut saya sebagian besar DPR kita di Senayan sana tidak jelas dalam jadwal dan penganggaran pembahasan RUU, seperti RUU HIP ini,” ujarnya.
Pola-pola seperti itu, katanya, adalah menunjukkan betapa rendahnya kualitas dan tanggung jawab DPR kepada Rakyat Indonesia. Selain itu, dugaan adanya pemaksaan pembahasan RUU HIP itu tidak terlepas dari bagi-bagi proyek di DPR.
“Harusnya, sejak awal sudah jelas dan publik harusnya sudah tahu apa saja yang akan dibahas. Ini semua ada anggarannya loh. Setiap pembahasan RUU pasti ada anggaran. Jangan sampai jadi hanya semacam projek saja ini,” ujar Eneng Malianasari.
Jadi, sudah dapat diprediksi, kualitas Undang-Undang yang dibahas DPR pun rendah. Bahkan sering menimbulkan masalah baru. Karena tidak memiliki basis berpikir Pancasila itu sendiri.
“Bukannya ngomong sombong ya, banyak RUU yang dibahas dan ditetapkan menjadi Undang-Undang di DPR itu tidak berkualitas. Sebab, ya DPR kita kalau bikin program sering tidak berkualitas. Demikian pula nantinya dengan RUU HIP ini,” tuturnya.
Sangat heran, lanjutnya lagi, apabila anggota DPR yang dipilih oleh rakyat, malah hanya membeo dan asal ikut saja agenda dari segelintir orang untuk membahas RUU HIP.
“Orang bilang, anggota DPR dan atau DPRD itu adalah sebagai petugas partai. Namun, bukan berarti jadi robot-nya partai. Anggota Dewan harus memiliki kualifikasi, memiliki analisa dan harus mampu menyerap aspirasi masyarakat. Nah, itu yang harusnya juga diterapkan dalam menyusun sebuah draf RUU seperti RUU HIP itu. Namun, faktanya hal itu sering tidak dilakukan oleh DPR,” jelasnya.
Eneng mencotohkan, di partainya yaitu di Partai Solidaritas Indonesia (PSI), setiap anggota wajib menyerap aspirasi masyarakat. Wajib memiliki kualifikasi dalam pembuatan aturan ataupun Undang-Undang. Dan wajib bisa diawasi oleh Rakyat.
“Kami, di partai kami PS, meskipun sebagai petugas partai, tetapi tidak sepenuhnya bagai robot. Kami harus memiliki analisia dan menyerap aspirasi rakyat. Kami harus memiliki dokumen yang akan dibahas, yang disampaikan juga ke publik. Supaya bisa mengkritisi dan mengawasi kinerja anggota Dewan oleh masyarakat,” jelasnya.
Dengan cara-cara yang berlaku di DPR seperti itu, kata dia, justru semakin membuat Pancasila itu sendiri menjadi tak berharga. Ideologi Negara Pancasila malah dikebiri sendiri oleh orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai kaum Pancasilais.
“Misal, sejujurnya, kebijakan-kebijakan yang dilakukan sampai hari ini, masih patriarkis. Tidak mengakomodir kebutuhan, situasi dan kondisi kaum perempuan Indonesia. Ideologi Pancasila belum memperjuangkan aspirasi kaum perempuan. Kebijakan-kebijakan Pancasila kita hari ini, masih berpersfektif patriarki. Kaum perempuan masih dijadikan faktor yang kesekian,” jelasnya.
Misal, mengenai kuota 30 persen perempuan, belum sungguh-sungguh diwujudkan. “Kemudian, anggaran dan kebijakan yang dijadikan di Negara ini, belum ada pro gender ke kaum perempuan,” tandas Eneng Malianasari.
Webinar Pancasila The Series 3: Siapa Sih Musuh Pancasila? Persfektif Perempuan diselenggarakan oleh sejumlah aktivis pemuda, antara lain Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta), Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) DKI Jakarta, Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Jakarta Barat, Barisan Rakyat 1 Juni (BARAK 106), Jaringan Aktivis Indonesia (JARAK Indonesia), Akar Muda Beringin, Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka), Sinar Keadilan dan Epicentra Strategic.
Webinar Pancasila The Series 3: Siapa Sih Musuh Pancasila? Persfektif Perempuan menghadirkan pembicara yakni Anggota DPD RI Kalimantan Barat Maria Goreti, Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Eneng Milianasari, Inisiator Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka) Novia Adventy Juran, dengan moderator aktivis Perempuan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Serang (GMKI Serang) Rurry Nainggolan.(Nando)