Polemik penunjukan petinggi Kepolisian Republik Indonesia sebagai Pejabat Gubernur di Provinsi yang akan menggelar Pilkada Serentak 2018, semakin menunjukkan arogansi dan pengkhianatan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo terhadap cita-cita Reformasi 1998.
Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Badia Sitorus menyampaikan, bukan hanya Nawacita, cita-cita reformasi 1998 dan juga Konstitusi Republik Indonesia pun telah dikhianati oleh anak buahnya Presiden Joko Widodo itu.
Mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Medan ini mengatakan, kepentingan segelintir elit politik telah menjadi motivasi utama Tjahjo Kumolo untuk mengusulkan petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur.
“Perlu kami umumkan, kami sampaikan bahwa Mendagri Tjahjo Kumolo sudah mengkhianati Reformasi 1998. Penunjukan Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur sarat dengan kepentingan pribadi, kepentingan segelintir elit. Sebagai Menteri dan sebagai penyelenggara negara, seharusnya Mendagri berdiri di atas kepentingan semua pihak,” tutur Badia Sitorus, di Jakarta, Minggu (04/02/2018).
Alasan-alasan yang dibuat oleh Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memaksakan penunjukan Pejabat Gubernur dari Polri, lanjut Badia, sangat diskriminatif dan penuh kebohongan. Sebab, kata dia, jika di dua Provinsi yang hendak menggelar Pilkada Serentak 2018, yaitu Sumatera Utara (Sumut) dan Jawa Barat (Jabar) skenario penunjukan Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernurnya dilakukan karena alasan keamanan, sangat tidak relevan.
“Sedangkan di sejumlah provinsi lainnya seperti di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, yang juga menggelar Pilgub Serentak 2018 ini, tidak diperlakukan sama oleh Mendagri. Mengapa di provinsi-provinsi itu tidak sekalian juga ditunjuk Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernurnya? Ini sangat aneh, dan sarat dengan kepentingan pribadi Tjahjo Kumolo dan kawan-kawannya,” tutur Badia Sitorus.
Selain landasan berpikir yang keliru, menurut Badia, Mendagri Tjahjo Kumolo juga sudah terang-terangan mengangkangi ketentuan Undang Undang Pilkada, melangkahi cita-cita Reformasi 1998, menjungkirbalikkan Nawacitanya Jokowi, serta melanggar konstitusi Republik Indonesia dalam penunjukan tersebut.
“Tidak mungkin sekelas Mendagri Tjahjo Kumolo tidak mengerti dan tidak menguasai betul Undang Undang. Namun, demi kepentingan dirinya dan antek-anteknya, Konstitusi pun secara sengaja dilanggar dan dikangkanginya. Menghalalkan segala cara,” ujar Badia.
Oleh karena itu, Ketua Cabang GMNI Medan Periode 2007-2009 ini meminta agar Presiden Joko Widodo segera menghentikan langkah cacat yang dilakukan oleh Tjahjo Kumolo.
Selain itu, jika Jokowi juga memaksakan penunjukan itu, maka masyarakat akan men-delegitimasi pemerintahan Jokowi-JK ini, sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita Reformasi 98.
“Hentikan penunjukan pejabat Gubernur dari Polri dan atau TNI aktif. Jika tidak, maka masyarakat akan semakin tidak percaya kepada Jokowi. Masyarakat pun akan sangat tahu bahwa kebijakan ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.
Jika Presiden Joko Widodo tetap meneken dan menyetujui, maka Badia dan kawan-kawannya berjanji akan melakukan aksi penolakan dan juga proses hukum terhadap kebijakan penunjukan Pejabat Gubernur yang menyalahi Undang Undang itu.
“Kami tidak akan tinggal diam,” pungkasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menjelaskan pertimbangannya mengusulkan dua petinggi kepolisian sebagai pemimpin sementara dua provinsi. Pertimbangan kerawanan Pilkada juga menjadi salah satu faktor penunjukan dua petinggi polisi tersebut.
Penunjukan dua petinggi itu, katanya, masih merupakan usulan. Keputusan dari Presiden Joko Widodo pun belum keluar. Pada Pilkada 2017 lalu ia juga mengusulkan dari kalangan kepolisian dan juga diizinkan.
“Saat itu Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu dilantik menjadi pejabat Gubernur Sulawesi Barat, sementara Pak Soedarmo yang dari TNI (purnawirawan) juga ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Aceh dan tidak ada masalah,” ujar Tjahjo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Dia melanjutkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak mungkin melepas semua pejabat eselon I untuk menjadi pejabat gubernur ke provinsi-provinsi penyelenggara Pilkada 2018. Sebagaimana diketahui ada 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2018.
“Jika nanti ditunjuk Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pejabat gubernur, kan nanti diindikasikan menggerakkan PNS nanti. Kalau semua pejabat dilepas kosong kan Kemendagri. Maka seperti tahun lalu, saya minta kepolisian, Kemenkopolhukam, akhirnya ada penugasan Irjen Carlo Brix Tewu. Intinya pejabat TNI atau Polri yang berpangkat mayjen, eselon I. Bisa saja tahun depan ada juga dari kejaksaan,” papar Tjahjo.
Selain itu, Tjahjo menambahkan, pertimbangan menempatkan TNI dan Polri di Aceh karena tingkat kerawanan di daerah itu cukup tinggi.
“Untuk memetakan kondisi daerah saya berkomunikasi terus dengan Kapolri, Panglima TNI dan Menko Polhukam. Menurut saya tidak ada masalah (usulan seperti itu),” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul menuturkan, terdapat dua perwira tinggi Polri yang bakal memimpin sementara di dua provinsi. Hal tersebut menurut Martinus disampaikan Wakapolri Komjen Pol Syafruddin dalam rapat pimpinan Polri di Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Penunjukan dua perwira tinggi Polri untuk mengisi dua jabatan pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga ditolak oleh Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.
Menteri Pertahanan Ryamirzard Ryacudu di gedung DPR, Selasa (30/1/2018) mengatakan tidak ingin perwira aktif TNI menjadi pelaksana tugas Gubernur seperti halnya dua jenderal polisi yang bakal ditunjuk Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelang Pilkada 2018.
“Dikawal aja. Saya juga enggak suka kayak gitu. Jangan macam-macam. Saya dari dulu enggak suka kayak gitu,” ujar Ryamizard.
Khusus TNI, Ryamizard memastikan netralitas TNI dalam politik tetap terjaga. “Oh, harus (TNI tetap menjaga netralitas). Kalau netralitas TNI terjaga, tidak akan muncul masalah,” katanya.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan undang-undang sudah mengatur dengan jelas TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
“Saya tetap pada pendirian sesuai dengan konstitusi. Konstitusi TNI UU 34 tahun 2004. Di situ sudah diatur bahwa TNI harus netral. Saya tetap pada konstitusi saya,” tutur Panglima TNI.
Terkait netralitas TNI, Hadi Tjahjanto menegaskan dirinya telah menyampaikan masalah ini kepada Mendagri. Hadi meyakini Kapolri Jenderal Tito karnavian pun berpendapat yang sama seputar netralitas prajurit Polri dan TNI.
Saya sampaikan (kepada Mendagri) bahwa saya punya konstitusi. Saya berpegang pada konstitusinya TNI bahwa netralitas adalah segala-galanya. Dalam Rapim TNI Polri pun, saya dengan pak Tito sama pendiriannya dengan saya bahwa netralitas itu adalah harga mati. Kembali pada konstitusi itu,” ujarnya.(JR)