Sungguh biadab tindakan penguasa dan oknum aparat hukum yang menjadikan aktivis lingkungan dari Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Sebastian Hutabarat sebagai tersangka.
Tuduhan yang dialamatkan kepada Sebastian Hutabarat pun adalah dugaan pencemaran nama baik. Anehnya, yang melaporkan Sebastian Hutabarat melakukan dugaan pencemaran nama baik adalah Jautir Simbolon, yakni saudara tuanya Bupati Samosir, Rapidin Simbolon.
Jautir Simbolon dan anak buahnya malah sebelumnya telah melakukan penganiayaan, pemukulan dan pengeroyokan kepada dua aktivis lingkungan di Kawasan Danau Toba (KDT) yakni Sebastian Hutabarat dan Jhohannes Marbun. Kedua aktivis ini dianiaya dan dikeroyok, lantaran sedang melakukan pemantauan dan proses advokasi lingkungan di Desa Silimalombu, Kabupaten Samosir, pada 15 Agustus 2017 lalu.
Jautir Simbolon yang merupakan pengusaha tambang Galian C di Kabupaten Samosir, merasa terusik dengan kehadiran kedua aktivis lingkungan itu. Sejumlah kerusakan Kawasan Danau Toba diduga turut dilakukan Jautir Simbolon dan kaki tangannya, lewat usaha Galian C yang gencar dilakukannya.
Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan mengingatkan, tindakan-tindakan melanggar hukum yang sah, dan bahkan kriminaliasi yang dilakukan oleh penguasa serta oknum aparatur hukum kepada Sebastian Hutabarat, akan dipandang oleh masyarakat sebagai bentuk pengkhianatan kepada kelestarian lingkungan dan keberlangsungkan kehidupan masyarakat yang berkeadilan di KDT.
Maruap Siahaan menuturkan, masyarakat KDT tidaklah buta atas peristiwa dan proses-proses yang tidak fair yang dilakukan oknum aparat polisi dan oknum jaksa maupun oknum hakim, serta oknum pejabat daerah.
Jika tidak ditanggapi dengan adil, maka masyarakat sendiri yang akan marah dan murka.
“Ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivis dan sangat menciderai upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup dan penegakan hukum di kawasan Danau Toba yang saat ini sangat gencar dilakukan. Kita harus selamatkan setiap niat baik perbaikan lingkungan hidup dan tidak selayaknya dikriminalisasi. Pembiaran setiap upaya kriminalisasi pada akhirnya akan meniadakan sikap kritis dan kemandirian masyarakat dalam membangun Kawasan Danau Toba yang diimpikan menjadi Kota Berkat tersebut,” tutur Maruap Siahaan, Rabu (20/03/2019).
Maruap Siahaan pun mengajak seluruh elemen masyarakat yang cinta Danau Toba dan keadilan masyarakat untuk melakukan pengawalan terhadap persoalan ini. Maruap juga menegaskan, jika penguasa dan aparat hukum terus menerus menyelewengkan hukum itu sendiri, maka sikap apatis mayarakat akan berbuah pada kemarahan.
“Yang muncul kemudian yaitu kembalinya sikap apatisme masyarakat dan merajalelanya kelaliman di Tanah Batak. Semoga tidak benar-benar terjadi,” harapnya.
Aktivis Lingkungan YPDT Sebastian Hutabarat tidak terima dengan penetapan tersangka kepada dirinya oleh aparat kepolisian. Menurut dia, aparat kepolisian sudah melakukan abuse of power terhadap penanganan perkara yang dihadapinya.
Pada Selasa (19/3/2019), Sebastian Hutabarat mendapatkan Surat Pemanggilan Kedua sebagai tersangka atas laporan balik yang dilakukan oleh Jautir Simbolon, Si Penganiaya dan Pengeroyok Sebastian Hutabarat dan Jhohannes Marbun.
Sebastian menuturkan, pada pemanggilan pertama kepada dirinya untuk diperiksa sebagai tersangka, dia tidak bersedia menghadap penyidik kepolisian, lantaran kebingungan dengan penetapan statusnya sebagai tersangka yang tanpa dasar itu.
“Ketika panggilan pertama sebagai tersangka dengan tuduhan penghinaan atau fitnah, yang seogyanya Senin tanggal 18 Maret 2019 belum bisa saya hadiri. Dimana, saya sendiri tidak tahu kalau saya dituduh menghina atau memfitnah siapa? Dan tidak bisa saya dapat jawabannya lewat telepon atau WA dari pihak Polres Samosir. Maka hari itu juga, Polres Samosir segera membuat panggilan kedua bertanggal 18 Maret yang saya terima pagi tadi jam 10.30 WIB, untuk hadir dan dimintai keterangannya pada hari Kamis 21 Maret 2019,” ungkapnya.
Sebastian mengaku belum bisa memastikan apakah akan memenuhi pemanggilan kedua. Sebab, jujur saja, Sebastian dan Jhohannes Marbun yang mengalami penganiayaan berdarah, pengeroyokan dan penyanderaan yang dialami pada 15 Agustus 2017 lalu di Desa Silimalombu, Samosir itu masih meninggalkan trauma yang sangat mendalam.
Trauma itu belum hilang, ketika pelaku penganiayaan terhadap dirinya, yakni Jautir Simbolon disidangkan, dan Jhohannes Marbun harus dihadirkan kembali sebagai saksi korban. Sidang itu juga dihadiri Sebastian Hutabarat.
“Sidang mendengarkan rekan saya yang juga saksi korban Jhohanes Marbun, yang diadakan di Pengadilan Negeri Balige bertempat di Pangururan Samosir 28 Februari 2019 lalu, juga masih meninggalkan ketakutan, karena rekan kami Adi Marbun, yang memfoto sidang tiba-tiba diteriaki dan diintimidasi seseorang di depan para penegak hukum,” ungkapnya.
Sedangkan di luar pengadilan, lanjutnya, sejumlah orang berteriak-teriak, melakukan teror kepada dirinya. “Oleh Jaksa, kamipun diminta pindah ke Gedung Kejaksaan, di sebelah Kantor Pengadilan, tepat ketika Jautir Simbolon disidangkan,” ucap Sebastian.
Di depan Kantor Jaksa, lanjutnya, juga masih ada bentuk teror dengan beberapa orang mengendarai sepeda motor, tanpa helem dan menekan gas sepeda motor mereka kuat-kuat.
“Kepada pihak Polres, Jaksa dan Pengadilan saya bilang, hebat juga anak anak muda itu di depan para penegak hukum bisa berperilaku demikian,” tutur Sebastian.
Terhadap persidangan dengan terdakwa Jautir Simbolon seorang diri, Majelis Hakim hanya menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara. Putusan itu lebih rendah satu bulan, dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya 3 bulan saja.
“Untuk kawan kawan, para aktivis, wartawan, pegiat sosial dan siapapaun kita, aneka bentuk penganiayaan, intimidasi dan kriminalisasi ini bisa terjadi kepada siapa saja. Semoga kejadian ini bisa membuka hati kita bersama untuk melihat aneka drama yang terjadi di Tanah Batak dan Negeri tercinta ini,” ujarnya.
Ironis, lanjut Sebastian, ketika Presiden Jokowi dan para elit di Pemerintahan Negeri ini menggaungkan Kawasan Danau Toba sebagai wisata kelas dunia, aneka bentuk ancaman, intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis masih saja terjadi. “Hukum kita untuk siapa?” ujarnya.(JR)