Kemajuan teknologi dan ekonomi produktif dari sektor digital belum optimal. Bahkan, sejalan dengan 5 tahun pembangunan infrastruktur fisik pada periode pertama pemerintahan Jokowi, dinilai ada misi yang belum maksimal dicapai oleh jajaran kementerian periode lalu.
Pengamat Kebijakan Publik Perkumpulan Prakarsa, AH Maftuchan menyampaikan, Jokowi selama ini sebenarnya tidak hanya bisa infrastruktur seperti jalan raya, ia paham dan berkepentingan pada infrastruktur digital.
Menurutnya, Jokowi memahami kemajuan yang bisa dicapai indonesia dengan perbaikan infrastruktur digital, seperti halnya optimalisasi frekuensi dan semakin baiknya pemanfaatan Broadband Wireless Access (BWA) atau akses nirkabel pita lebar.
“Namun sampai saat ini belum optimal,” ujar AH Maftuchan, dalam sesi diskusi yang diselenggarakan Digital Culture Syndicate, di Kedai Tjikini, Selasa (12/11/2019).
Maftuh menerangkan, infrastruktur teknologi komunikasi informasi harus dikembangkan agar dapat menunjang pengembangan ekonomi digital nasional dan kesejahteraan rakyat.
Menurutnya, pengembangan akses data dan internet yang baik akan menuntaskan ketertinggalan infrastruktur information and communication technologies (ICT), menciptakan pemerataan layanan internet dan menurunkan kesenjangan ekonomi dan akses informasi di seluruh wilayah Indonesia.
“Optimalisasi frekuensi dapat menciptakan ketersediaan tarif akses internet yang terjangkau atau murah. Jadi, frekuensi broadband harus dioptimalkan pemanfaatannya, agar frekuensi tidak menjadi lahan tidur karena dikuasai oleh operator tetapi tidak dimanfaatkan,” jelas Maftuchan.
Hal senada juga dinyatakan Ahli Komunikasi dan Telekomunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Dodi Ambardhi. Menurutnya, akses pita lebar itu masuk dalam infrastruktur. Soalnya tidak hanya mengangkut barang, tapi juga mengangkut data.
“Memperbaiki jaringan akses adalah salah satu agenda Presiden Jokowi. Presiden juga meminta fasilitasi sebaik mungkin terhadap startup agar bisa menjadi unicorn-unicorn baru. Di situlah urgensinya masalah pita lebar dan jaringan,” papar Kuskridho.
Karenanya, masih menurut Kuskridho, pita lebar menjadi hal yang strategis. Pertama, selain menjadi visi utama Jokowi, masalah ini juga menyangkut pemerataan.
Tapi persoalannya selama ini bagaimana alokasinya? Selama ini belum banyak memfasilitasi kepentingan publik padahal berkaitan erat dengan visi dan misi Presiden.
“Butuh penataan ulang termasuk evaluasi apakah pemberiaan lisensi sudah maksimal apakah belum? Pendapatan negara seberapa? Pengembangan industri digital oleh Kominfo telah berlangsung sejauh apa? Di situlah kita berharap Kominfo yang baru bisa bergegas dan fokus dalam memperhatikan penguatan dan maksimalisasi perkembangann startup. Sekali lagi itu lantaran urusan pita libar dan lisensi melekat pada visi jangka penjang presiden. Menyangkut lapangan kerja dan pengembangan ekonomi nasional khususnya dalam dunia digital hari ini,” jelasnya.
Dampak Terhadap Penguatan Ekonomi Nasional Belum Maksimal
Internet memadai dan sumberdaya manusia unggul serta manufaktur yang kuat menjadi kunci perkembangan industri ke depan di era 4.0.
Penetrasi internet memadai menjadi faktor paling krusial dalam perkembangan perekonomian jangka panjang. Cina dan India telah jauh melampaui indonesia.
Menurut Pengamat Perpajakan dan Kebijakan Publik dari CITA, Yustinus Prastowo, hal ini disayangkan, karena sejauh ini Indonesia baru bisa mencapai pendapatan dari izin lelang lisensi. Atau belum bisa menciptakan efek berlipat (multiplier) dari sektor teknologi. Pendapatan dasar itu masih kecil dan belum memberi dampak signifikan.
“Apakah kita akan memperpanjang lisensi kepada perusahaan yang selama sepuluh tahun terakhir tidak memiliki komitmen?”ujar Prastowo.
Negara selama ini rugi dengan penelantaran lisensi yang diberikan. Negara harus mengambil alih lisensi. Sebutlah dari lelang frekuensi saja baru 2T.
“Harusnya bisa 12 triluan didapat negara selama 10 tahun. Atau 3 kali lipat dari lisensi yang sepuluh tahun ini berjalan,” ujar Prastowo.
Menurut Prastowo, Menkominfo tidak perlu ragu-ragu untuk mengambil alih atau memberikan pada perusahaan baru dengan komitmen yang lebih baik. Ini soal keberpihakan dan dukungan pada upaya menciptakan ekonomi produktif dari sektor ekonomi digital.
“Opportunity dari sisi PNBP saja potensi yang bisa didapatkan sekitar Rp 12 triliun sementara aktualnya baru 72% saja. Karenanya jika dari yang mendasar saja PNBP licensing tidak optimal maka jangan berharap dari multiplier effect seperti PPH badan PPH orang pribadi, pajak pertambahan nilai dan yang lainnya,” tuturnya.
Selama 10 tahun terakhir penerimaan negara dari sektor ini tidak pernah tercapai. PNBP mestinya menjadi potensi baru. Menurutnya, dalam 10 tahun tidak muncul karena tidak ada pembangunan jaringan.
“Maka pilihannya ke depan apakah memperpanjang ijin kepada operator yang tidak pernah membangun seperti penguasa land bank. Kalau dalam penguasaan tanah lahan HGB itu bisa diambil kembali oleh pemerintah kalau cuma jadi lahan tidur,” ujarnya.
Prastowo mengungkapkan alasannya, potensi PNBP dari lelang bisa mencapai Rp 12 triliun selama 10 tahun ke depan. Yang penting lelangnya transparan dan akuntabel. Ini fresh money langsung ke penerimaan negara.
“Rent seeker harus dihilangkan. Ini sumber PNBP baru di depan mata. Jadi ini saatnya mengoptimalkan aset intagable. Kemeninfo baru harus memahami situasi dan perlunya keberpihakan semacam itu,” ujarnya.
Untuk diketahui, saat ini Indonesia sedang berhadapan dengan buruknya kondisi pemanfaatan BWA. Operator BWA berguguran satu per satu, hingga akhirnya sampai dengan tahun 2019 hanya tersisa 3 Operator, yaitu Berca, Telkom dan Indosat M2.(JR)