Ternyata Pola Pembentukan Badan Otorita Danau Toba Salah Kaprah, Pemerintah Kembali Dong Ke UUD 1945

Ternyata Pola Pembentukan Badan Otorita Danau Toba Salah Kaprah, Pemerintah Kembali Dong Ke UUD 1945

- in NASIONAL
569
0
Pengelolaan Kawasan Danau Toba harus kembali kepada Undang Undang Dasar 1945.

Pemerintah dinilai masih salah kaprah dalam mewujudkan peran serta masyarakat dalam mengelola Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai salah satu wilayah prioritas pemerintahan Jokowi mengembangkan pariwisata di Indonesia.

 

Hal itu terungkap dalam diskusi mingguan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) di Jalan Mesjid Bendungan No.10-11, RT.001 RW.007, Cawang III, Jakarta Timur, Kamis (08/12/2016). Dalam diskusi itu, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik yang hadir sebagai pembicara menyampaikan, penafisran peemrintah selama ini dalam pengelolaan dan partisipasi masyarakat masih salah kaprah.

 

Menurut Riza, dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba sebagai Sumber Daya Alam, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memberikan penjelasan mendasar bahwa tafsir konstitusi yang dimaksud dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 itu sangat rinci menjelaskan bagaimana kemanfaatan Sumber Daya Alam untuk masyarakat.

 

“Demikian juga tingkat pemerataan Sumber Daya Alam untuk rakta, sangat rinci dijelaskan oleh MK,” ujar M Riza Damanik dalam diskusi bertajuk ‘Pengelolaan Danau Toba Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat Kawasan Danau Toba’ itu.

 

Riza yang kini merupakan Staf Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI itu menegaskan, partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam Undang Undang Dasar adalah termasuk kewenangan masyarakat dalam menentukan keputusan bagi masyarakat itu sendiri. “Itu partisipasi rakyat dalam membuat keputusan. Juga secara tegas memberikan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun,” tutur Riza Damanik.

 

Karena itu, Damanik mengkoreksi sejumlah langkah pemerintah yang menafsirkan peran dan partisipasi negara itu hanya dalam batas memberi ijin, memungut pajak dan membangun (seperti kontraktor).

 

“Jadi, tafsir selama ini yang selalu dijalankan oleh Pemerintah itu sudah mulai ditinggalkan. Saatnya kita memastikan program pemerintah untuk rakyat di kawasan Danau Toba dapat dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tafsir konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,” pungkas Damanik.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo awal Juni 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Dalam aturan itu dikatakan, guna pengembangan pariwisata, dibentuk Badan Otorita Pengelola Pariwisata Danau Toba. Badan ini,  berada langsung di bawah Presiden. Beragam kekhawatiran pun muncul atas rencana ini baik soal lingkungan maupun konflik lahan.

 

Menteri Pariwisata Arief Yahya, selaku ketua pelaksana harian dewan pengarah mengatakan, Danau Toba jadi destinasi wisata unggulan di Indonesia, akan memperhatikan aspek lingkungan. Dia berharap,  tak ada kekhawatiran dari banyak pihak terkait pembentukan badan otorita ini.

 

Banyak kalangan khawatir, dengan gencarnya mengundang investor masuk bangun infrastruktur akan merusak bentang alam danau.

 

“Jangan khawatir. Pariwisata justru bisnis yang kalau lingkungan rusak, malah tak bagus. Dengan kata lain, ramah lingkungan pasti jadi perhatian. Lingkungan, komunitas dan ekonomi jadi perhatian,” katanya  usai rapat di Kantor Kemenko Maritim Jakarta, Kamis (24/11/16).

 

Arief mengatakan, sudah sepakat berapa persen boleh dibangun dan tak boleh melanggar aturan. Tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan turun.

 

“Nanti ada tanah dengan kemiringan berapa itu, kalau miring lebih 45 derajat, tak boleh dibangun,” katanya.

 

Pelibatan masyarakat dalam Otorita Danau Toba, katanya,  juga menjadi perhatian serius. Masyarakat sekitar akan diberdayakan.

 

“Karena kita selalu start dari komunitas disitu. Kalau ada ekonomi kreatif, kita cari tahu ekonomi kreatif dimana? Kearifan lokal kita jadikan, kita didik.”

 

Menurut dia, dalam rapat dibahas beberapa hal, seperti percepatan destinasi Danau Toba, deleniasi 603 hektar tinggal operasional sampai geopark akan diajukan Oktober 2017. “Seluruh persyaratan harus selesai semester I-2017. Akses semua sudah oke. Tadi dilaporkan dari Kuala Namu sampai ke Parapat terkoneksi 2019.”

 

Akhir tahun depan, katanya, Bandara Sibisa bisa uji coba pesawat-pesawat kecil. “Kalau bandara Silangit, tadi Maret 2017 bisa didarati 737-800, sekarang 737-500 sudah bisa,” ucap Arief.

 

Danau Toba, katanya,  akan mencontoh kelola danau di Hang Zhu, Tiongkok. Dia sudah mengunjungi Hang Zhu 10-13 Oktober lalu, kunjungan balasan Tiongkok ke Danau Toba awal 2017.

 

“Pak Presiden jatuh cinta pada danau di Hang Zhu ketika pembukaan G-20. Memang luar biasa mereka mengelola sebuah danau, meskipun lebih cantik Danau Toba. Kita akan belajar bagaimana mengelola danau yang baik,” katanya.

 

Danau Toba akan menjadi sister lake tetapi bukan berarti ada kerjasama dengan Tiongkok langsung, hanya bagian seni pertunjukan.

 

“Ada orang tampil di air, itu mungkin akan diambil. Juga bisa belajar manajemen danau.”

 

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, otorita badan ini tak jelas ada di sektor apa. “Tendensi badan otorita ini hanya menjadi instrumen bagi para investor. Ini yang dikhawatirkan,” katanya.

 

Penataan Danau Toba terlihat tak menyeluruh untuk peningkatan pariwisata. Malah, hak penguasaan lahan yang gencar terdengar. “Meski hingga kini, wilayah pariwisata dimana dan seperti apa tak tergambarkan.”

 

Padahal, kata Abdon, sebagai otorita seharusnya tak perlu menguasai lahan tertentu, karena bisa mengatur penggunaan lahan di seluruh Danau Toba.

 

Kondisi ini, katanya, menimbulkan kekhawatiran masyarakat sekitar wilayah. Dia khawatir, konflik tenurial. Untuk itu, katanya, sebelum bergerak, pemerintah seharusnya memperjelas status penguasan lahan.

 

“Apakah itu hutan negara, hutan adat atau milik perseorangan.”

 

Ketidakjelasan awal ini, katanya, bisa menjadi sumber konflik baru.

 

Pemerintah, ucap Abdon,  sempat mengutarakan lahan 500-an hektar ternyata ada beberapa masalah. Pertama, sekitar 100 hektar tumpang tindih dengan lahan adat (harangan) Desa Motung. Ia sumber air warga Ajibata.

 

Kedua, hutan adat marga Butar-butar seluas 120 hektar dan hutan kemasyarakatan. Hingga kini, masyarakat belum mendapatkan sosialisasi pengelolaan lahan kawasan mereka.

 

Jika menyentuh hutan lindung, misal, pemerintah memang memiliki kewenangan menurunkan fungsi sebagai hutan produksi terbatas, konservasi atau lain-lain. “Jika fisik hutan lindung yang bahaya. Berbicara fungsi kawasan hutan, bukan hanya pada penurunan fungsi namun keberlanjutan kawasan sekitar agar tak menabrak daya dukung,” ujarnya.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset