Rusak Ekologi & Rampas Ruang Hidup Masyarakat, Reklamasi Pantai Balauring Lembata Harus Dihentikan

Rusak Ekologi & Rampas Ruang Hidup Masyarakat, Reklamasi Pantai Balauring Lembata Harus Dihentikan

- in DAERAH, HUKUM, NASIONAL, POLITIK
827
0
Rusak Ekologi & Rampas Ruang Hidup Masyarakat, Reklamasi Pantai Balauring Lembata Harus Dihentikan.

Reklamasi Pantai Balauring, Lembata, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) harus dihentikan. Sebab, reklamasi itu telah menimbulkan kerusakan ekologis dan merampas ruang hidup masyarakat.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyampaikan, proyek reklamasi di Pantai Balauring yang terletak di desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT itu  merampas ruang hidup setidaknya 400 kepala keluarga masyarakat pesisir.

“Khususnya nelayan tradisional, baik baik laki-laki dan perempuan, dan masyarakat adat,” tutur Susan, Selasa (05/06/2018).

Proyek yang diberi nama “Pojok Cinta”  itu, lanjut dia, adalah murni kepemilikan pribadi Bupati Lembata atas nama Eliyaser Yentji Sunur. Saat ini, menurut Susan, atas nama proyek reklamasi Pantai Balauring, telah ditimbun oleh pasir dengan lebar 70 meter dan panjang 250 meter. Total luasannya adalah 17.500 meter persegi atau setara dengan 1.75 hektar.

Ironisnya,  lanjut Susan, proyek ini tidak masuk di dalam APBD 2018 dan bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir.

“Di sisi lain, proyek ini telah memicu perlawanan dari masyarakat pesisir di Lembata, yang terdiri dari nelayan tradisional dan masyarakat adat pesisir, yaitu masyarakat adat Dolulolong,” ujarnya.

Susan  menyatakan, Reklamasi di Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT, menambah panjang daftar proyek reklamasi yang tersebar di kawasan pesisir di Indonesia.

Pada tahun 2016, KIARA mencatat 16 proyek reklamasi pantai di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat menjadi 37 pada tahun 2017. Jika ditambah dengan reklamasi Lembata, maka total proyek reklamasi pantai di Indonesia menjadi 38 wilayah. “ Ini jadi ironi negara bahari di tengah Poros Martim,” katanya.

Proyek yang menguruk laut ini telah menjadi ancaman serius bagi masa depan pesisir dan laut Indonesia. Bagi Susan, reklamasi adalah sebuah ironi bagi negeri ini, negeri yang dianugerahi lebih dari 17 ribu pulau.

Alih-alih membangun kehidupan masyarakat pesisir berdaulat beserta wilayah perairannya yang bersih dan sehat, reklamasi justru menghancurkan kehidupan masyarakat sekaligus alam pesisir serta laut Indonesia.

Dari sisi hukum,  lanjutnya, proyek reklamasi jelas-jelas sangat bertentangan dengan kontitusi dan peraturan perundangan yang berlaku, yaitu, pertama, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Dalam Pasal 25A ditulis identitas negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang menolak konsep dan praktik pulau buatan. “Sebaliknya, proyek reklamasi menolak menerima konsep dan praktik pulau buatan,” katanya.

Kedua, proyek reklamasi terbukti merampas kehidupan masyarakat pesisir di sekitar kawasan pantai dan seluruh pihak yang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Artinya proyek reklamasi bertentangan dengan UUD 1945, pasal 27 ayat 2.

Ketiga, melalui proyek ini, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terbukti mengkuasakan wilayah pesisir Jakarta untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi oleh swasta dan ini artinya proyek reklamasi melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat 2.

Keempat, reklamasi juga melanggar UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memandatkan, dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai (12) hak konstitusional, diantaranya; memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan; mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K; mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K.

“Proyek reklamasi Balauring merupakan simbol dari proyek kapitalisasi sumber daya pesisir dan kekuasaan yang terjadi di 38 pesisir Indonesia,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut Susan, Kabupaten Lembata melakukan langkah-langkah strategis, yakni, pertama, taat dan patuh kepada konstitusi dan peraturan perudangan yang berlaku di Republik Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Kedua, segera mengehentikan proyek reklamasi yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat pesisir.

Ketiga, pemerintah Kabupaten dalammenyelenggarakan pembangunan harus menempatkan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai pusat pembangunan.

“Laut untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat pesisir Indonesia,” ujarnya.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset