Rentan Diselewengkan, Penggunaan Undang Undang ITE Terus Memakan Korban

Rentan Diselewengkan, Penggunaan Undang Undang ITE Terus Memakan Korban

- in NASIONAL
458
0
Rentan Diselewengkan, Penggunaan Undang Undang ITE Terus Memakan Korban.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan aparat penegak hukum agar berhati-hati dalam menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut tercatat sudah menelan banyak korban dan rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Kasus terbaru yang menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan motivator Wempy Dyocta Koto dengan terlapor Ravio Patra. Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, menuturkan pihaknya telah berinisiatif mengirimkan pendapat hukum tertulis kepada penyidik terkait kasus tersebut.

Dalam pendapat hukum tersebut ICJR memberikan beberapa argumen. Pertama, pada dasarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak dapat dan tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 310 jo. 311 KUHP. “Dalam kaitannya kebebasan ekpresi, maka ada sebuah alasan pembenar untuk menyatakan pendapat yang tidak dapat dijerat dengan pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP yaitu sepanjang untuk kepentingan umum,” katanya dalam siaran persnya, Kamis (24/08/2017).

Kepentingan umum tidak hanya terjadi dalam konteks publik namun juga dalam konteks hubungan privat yang memiliki hubungan dengan banyak orang. Supriyadi mencontohkan, kasus Prita Mulyasari dimana melalui putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, Prita Mulyasari diputus tidak terbukti melakukan tindak pidana penghinaan sebagaimana didakwa dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Dalam kasus tersebut Prita dianggap semata-mata sebagai perbuatan untuk memberikan ‘peringatan’ kepada publik agar tidak merasakan apa yang menjadi komplain dari dirinya pada RS Omni Internasional,” ujarnya.

Kasus lain juga dapat ditemui dengan putusan MA No. 519 K/Pid/2011, pada intinya Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan mengirimkan surat yang dianggap penghinaan dalam pengelolaan keuangan di suatu institusi privat tidak bisa dianggap penghinaan karena berhubungan dengan pelayanan yang lebih baik demi kepentingan publik.

Menyikapi hal itu, Supriyadi menekankan  ada unsur kepentingan umum yang perlu untuk diperhatikan. Selain itu, tindakan Ravio dan Wempy yang saling memberikan klarifikasi sesungguhnya bisa dijadikan ukuran pernyataan kebenaran atas klaim terhadap pernyataan Ravio.

“ICJR mendorong agar aparat penegak hukum tidak gegabah dalam melakukan proses terhadap kasus ini, karena berpotensi menimbulkan iklim ketakutan dalam berpendapat dan berekspresi atas dasar kepentingan umum dan kebenaran pernyataan dalam masyarakat Indonesia yang demokratis,” tandasnya.

Direktur LBH Pers, Nawawi Bahrudin, menilai tulisan Ravio Patra di laman facebook tidak memuat materi pencemaran nama baik maupun penghinaan sebab didasari hasil riset dan penelusuran informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Perbuatan Ravio sama sekali bukan bentuk pencemaran nama baik atau penghinaan seperti yang dituduhkan oleh pihak WDK (Wempy). Apa yang dituliskan Ravio merupakan informasi penting yang patut diketahui publik. Apalagi, tulisan tersebut diperoleh dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Dia melihat, keputusan Ravio Patra mengunggah tulisannya mengenai praktik bisnis Wempy didasari niat untuk kepentingan publik.

“Publik harus mengetahui kredibilitas sebenernya WDK (Wempy), mengingat dia sering menyampaikan klaim-klaim atas dirinya ke publik. Perbuatan Ravio bukanlah suatu tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah sesuai dengan Pasal 27 (3) UU ITE, 310 KUHP, dan 311 KUHP,” katanya.

Untuk diketahui, kasus ini bermula saat tulisan Ravio soal Wempy diunggah ke laman facebooknya pada 27 Mei 2017 lalu. Tulisan itu menuding Wempy melakukan kebohongan publik. Ravio menemukan data bahwa perusahaan konsultan bisnis milik Wempy, Wardour and Oxford, sudah tidak aktif sejak 2012 silam. Dia juga membantah klaim Wempy yang mengaku pernah mendapatkan penghargaan Asia’s Highest Entrepreneurship Award.

Sehari usai kemunculan tulisan unggahan Ravio itu, Wempy sempat merespon dengan manyampaikan klarifikasi dan bantahannya. Pada 7 Juni 2017, Wempy mengirimkan somasi tertulis kepada Ravio Patra melalui kuasa hukumnya. Somasi itu menuding Ravio telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Wempy mendesak Ravio menyampaikan permintaan maaf kepada dirinya.

Kemudian, pada 21 Juni 2017, Wempy melaporkan Ravio Patra ke Polda Metro Jaya dalam Laporan Polisi Nomor: SP.Dik/475/VIII/2017/Dit. Reskrimsus. Ravio dilaporkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP juncto Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 36 Juncto Pasal 51 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset