Pidato ‘Pribumi’ Gubernur DKI Yang Baru Bikin Gelisah, Anies Baswedan Diminta Tak Ungkit Masalah SARA

Pidato ‘Pribumi’ Gubernur DKI Yang Baru Bikin Gelisah, Anies Baswedan Diminta Tak Ungkit Masalah SARA

- in DAERAH, NASIONAL, POLITIK
665
0
Pidato ‘Pribumi’ Gubernur DKI Yang Baru Bikin Gelisah, Anies Baswedan Diminta Tak Ungkit Masalah SARA.

Kalangan akademisi dan aktivis mengkritik pidato pertama Gubernur terpilih Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan, yang menyebutkan kata ‘pribumi’. Kata tersebut dinilai kurang tepat dalam melakukan proses rekonsiliasi pasca Pilkada DKI Jakarta. Selain itu, penggunaan kata ‘pribumi’ kerap dihubungkan dengan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

 

Peneliti Retorika dan Media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti, mengatakan perjalanan Pemilukada DKI Jakarta penuh gejolak, marak hujaran kebencian, dan isu SARA. Maka dari itu, Gubernur Anies Baswedan perlu memilih dengan bijak penggunaan kata yang bisa menimbulkan polemik.

 

Menurut dia, pidato Anies Baswedan yang dikutip di berbagai media menyinggung mengenai kolonialisme di jaman ini dan membangkitkan istilah lawas mengenai ‘pribumi atau inlander. Istilah ini digunakan untuk menjadi pembeda dengan Belanda maupun Vremde Osterlingen atau non-pribumi lainnya misalnya keturunan Tionghoa, Arab, dan India.

 

“Seharusnya Anies berfokus dengan mengedepankan program kerja, data-data mengenai hal yang belum dikerjakan oleh pendahulunya, dan visi misinya. Tujuannya, agar masyarakat kembali fokus pada rasionalitas kerja seorang gubernur,” katanya dalam keterangan persnya, Selasa (17/10/2017).

 

Desideria menyebutkan, penggunaan kata pribumi memang kadang diucapkan oleh beberapa tokoh nasional. Misalnya, seperti yang diucapkan Menteri Susi Pudjiastuti. Tetapi, bukan berarti kata-kata tersebut tidak berdampak karena siapa yang mengucapkan dan bagaimana istilah itu dipakai, memiliki kekuatan makna yang berbeda.

 

“Ada proses komunikasi politik yang perlu diperhitungkan yakni who atau siapa yang mengatakan dan to whom kepada siapa itu dikatakan,” terangnya. Dalam proses ini, Anies Baswedan sedang disorot soal kampanye SARA yang dituduhkan padanya. Akibatnya menjadi kontraproduktif, ketika kata ‘pribumi’ dieksploitasi dalam pidatonya. Hal ini justru mengafirmasi tuduhan SARA kepada Anies.

 

Meski orang bisa dengan mudah mengatakan tidak ada isu SARA dalam pilkada DKI, hal ini tidak bisa dibiarkan. Sebab kondisi ini akan membentuk budaya dan metakognisi masyarakat yang impulsif untuk menjustifikasi kekerasan verbal SARA.

 

“Kasus beredarnya ujaran kebencian melalui kelompok Saracen. Juga, penggunaan politik identitas dalam pilkada itu nyata. Oleh karena semua pihak perlu belajar untuk mengendalikan pusaran informasi dan menghindari eksploitasi kata-kata yang provokatif dan menimbulkan trauma,” ungkap Desideria.

 

Dia menambahkan, penggunaan kata ‘pribumi’ disebutkan dalam Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.

 

Pada masa itu, istilah pribumi menjadi sangat sensitif setelah kerusuhan 1998 sebab etnis Tionghoa yang merupakan WNI, mengalami kekerasan, pemerkosaan, dan kebrutalan lainnya. Narasi yang beredar saat itu adalah pribumi dan non-pribumi.

 

“Trauma pahit dengan istilah seperti pribumi,itu perlu dipahami banyak pihak. Supaya kita menjadi masyarakat yang sensitif dengan keberagaman dan tidak menjadi acuh tak acuh pada sejarah kelam masa lalu,” tandasnya.

 

Peneliti bidang Sosial dari Wiratama Institute, Puti Sinansari mengatakan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi pernyataan kontras yang kurang pas untuk disampaikan ke hadapan publik. Apalagi, penggunaan kata pribumi sudah dilarang melalui Inpres No.26/1998.

Seharusnya, sebagai pemimpin Ibukota Negara, pernyataan Anies Baswedan dalam pidatonya memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat yang mendengarnya.

 

“Karena itu, jangan sampai kalimat pemimpin multitafsir bagi masyarakat yang mendengarnya. Sehingga tidak terjadi kebingungan di antara rakyat dalam merespons pernyataan pemimpinnya,” katanya.

 

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan mengklarifikasi penggunaan kata ‘pribumi’ dalam pidato politiknya di hadapan warga saat menyampaikan pidato kemenangan seusai dilantik Presiden Joko Widodo, Senin (16/10). Anies menyatakan dalam pidatonya kata ‘pribumi’ digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda.

 

“Istilah itu digunakan dalam konteks saat era penjajahan, karena saya menulisnya pada era penjajahan dulu,” ujarnya di Balai Kota, Selasa (17/10).

 

Menurut Anies, dirinya menulis hal tersebut dalam pidatonya karena Jakarta merupakan kota yang merasakan penjajahan dari Belanda di masa itu yang paling dekat. Hal tersebut berbeda dengan daerah-daerah lainnya di pelosok Tanah Air yang tidak merasakannya langsung.(JR)

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di