Menyusul kegagalan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-11 pada bulan Desember lalu di Buenos Aires, India mengambil prakarsa untuk mengundang negara-negara kunci anggota WTO dan Dirjen WTO Roberto Azevedo untuk membahas secara informal kelanjutan sistem perdagangan multilateral yang dikelola oleh WTO.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang hadir dalam pertemuan ini mewakili Indonesia sekaligus kelompok pertanian G33 berdiskusi intensif dengan Ketua Pertemuan, Menteri Perdagangan India Mr. Suresh Prabhu, serta menteri-menteri dan ketua delegasi dari 45 negara anggota WTO lainnya yang khusus diundang ke pertemuan satu hari ini.
“Kita menyambut baik prakarsa India untuk mengadakan pertemuan ini karena KTM di Buenos gagal menghasilkan political direction’ bagi proses perundingan selanjutnya di WTO. Para Menteri dan Ketua Delegasi yang hadir cukup terbuka dalam menyampaikan pendapatnya, namun tampaknya masih cukup lebar perbedaan yang ada. Saya sampaikan bahwa ada ‘trust deficit’ di antara kita yang harus segera diatasi,” ujar Enggar.
Para Menteri secara umum membahas dua topik besar. Pertama adalah arahan politik untuk proses perundingan di WTO terutama pada isu-isu yang tidak memiliki kejelasan program kerja dari KTM Buenos Aires dan, kedua, isu pembangunan yang terus mengganjal kemajuan perundingan Putaran Doha sejak diluncurkan pada tahun 2001.
Untuk isu pertama, delegasi yang hadir memiliki pandangan yang berbeda. Negara berkembang termasuk negara kurang berkembang umumnya berpendapat bahwa isu-isu Doha utamanya di bidang pertanian dan perlakuan khusus bagi negara kurang berkembang tetap harus diselesaikan.
Sebagian besar negara berkembang bersikap terbuka untuk mulai membahas isu-isu baru seperti e-commerce, UMKM, fasilitasi investasi, dan pemberdayaan wanita dalam kegiatan ekonomi namun bersamaan dengan itu isu-isu Doha juga perlu diselesaikan.
“Indonesia bersikap pragmatis. Benar bahwa WTO harus tetap relevan terhadap realita di dunia bisnis dengan mulai membahas isu-isu baru. Namun, kelemahan-kelemahan perjanjian WTO yang mencetuskan Perundingan Putaran Doha juga harus diselesaikan karena bila tidak maka ketimpangan pembangunan atau ‘development divide’ bukan berkurang, tetapi justru semakin besar,” imbuh Enggar.
Selain hal-hal di atas, Menteri Perdagangan yang memimpin delegasi Indonesia juga menyampaikan beberapa pemikiran penting lainnya dalam pertemuan ini.
Pertama, sistem perdagangan multilateral di bawah naungan WTO adalah satu-satunya sistem perdagangan dunia yang ada dan sejauh ini dapat diandalkan. Bila sistem ini dipandang tidak sempurna, maka menjadi tugas anggota WTO untuk memperbaikinya, bukan meninggalkannya.
Kedua, perundingan di sektor pertanian dan perikanan akan tetap penting bagi semua negara, baik negara berkembang dan kurang berkembang maupun emerging economies dan negara-negara maju. Dalam konteks ini, Indonesia menekankan arti penting proposal kelompok pertanian negara berkembang G33 untuk diselesaikan segera. Proposal dimaksud terkait Public Stock Holding for Food Security Purposes (PSH) dan Special Safeguard Mechanism (SSM).
Kesepakatan di bidang subsidi pertanian juga sama pentingnya bagi negara berkembang. Ini berhubungan dengan upaya untuk menghapus subsidi yang terkait dengan illegal, unreported and unregulated fishing, dan mengurangi subsidi yang menyebabkan overfishing dan penimbunan stok ikan yang berlebihan. Indonesia juga menegaskan bahwa pembahasan mengenai hal ini harus tetap memberi ruang untuk membantu nelayan skala kecil dan berada di daerah terpencil.
Ketiga, untuk inisiatif-inisiatif baru di WTO terkait isu UMKM, fasilitasi investasi, e-commerce, dan pemberdayaan perempuan, anggota WTO harus bersikap terbuka untuk mendiskusikannya guna mendapatkan pemahaman mendalam sebelum dilanjutkan ke tingkat perundingan di masa yang akan datang.
Keempat, terkait dengan isu-isu pembangunan, Indonesia memahami kesulitan sejumlah negara maju untuk memberikan perlakuan khusus dan berbeda kepada sejumlah negara berkembang yang sebetulnya sudah “naik kelas” menjadi emerging economies. Hal ini harus dibahas dengan kepala dingin, tidak emosional, dan bukan dengan cara “membajak” pembahasan isu-isu lain yang menyebabkan kebuntuan pada semua isu runding di WTO.
Indonesia juga menyampaikan keprihatinan bahwa satu dari tiga pilar sistem perdagangan multilateral di bawah WTO mengalami ancaman besar karena proses pemilihan anggota Badan Banding Sengketa terganjal oleh masalah prosedural. Dalam kaitan ini, Menteri Enggar menyatakan Indonesia bergabung dengan sekelompok negara yang mengajukan proposal mengenai prosedur pemilihan anggota Badan Banding agar fungsi WTO sebagai penengah sengketa dagang dapat segera dipulihkan.
Sebagai penutup, Menteri Perdagangan menyampaikan bahwa saat ini semakin penting untuk menunjukkan political will yang kuat untuk memperkokoh sistem perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif, pasti, dan berdasarkan peraturan (rules-based) seraya terus memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa WTO yang adil dan efektif.
“Praktis semua negara yang hadir menyampaikan kekhawatirannya bahwa tanpa WTO yang efektif menjalankan fungsinya sebagai wadah berunding, monitoring kepatuhan dan penyelesaian sengketa maka ancaman perang dagang akan semakin nyata dan tidak ada yang diuntungkan bila hal itu benar-benar terjadi,” pungkas Enggar.(JR)