Pemerintah Tak Kerja, Krisis Pangan Melanda

Pemerintah Tak Kerja, Krisis Pangan Melanda

- in DAERAH, NASIONAL
1485
0
Teriak-teriak Ada Ancaman Krisis Pangan, Kok Pemerintahnya Terlantarkan Lahan Eks Tambang.

Pemerintah dianggap tidak serius mengatasi krisis pangan yang dialami Indonesia. Pakar Ekonomi, Teknologi Perminyakan dan Ketahanan Energi  Universitas Parahyangan (Unpar) FX Husin mengatakan, jika pemerintah serius bekerja, tidak sulit bagi Indonesia untuk bangkit dan menggapai swasembada pangan.

“Impor masih jadi idola, krisis pangan kian nyata. Soalnya, sampai sekarang belum bekerja. Kalau pun bekerja ya seadanya saja. Target swasembada pangan dan kedaulatan pangan masih jauh,” ujar FX Husin, di Jakarta, Selasa (22/05/2018).

Dia mengingatkan, untuk mencapai swasembada pangan di masa mendatang, paling tidak untuk 2-3 tahun ke depan, perlu kerja keras dan kerja sama yang terintegrasi dari seluruh stake holder, yakni Pemda, Departemen Pertanian, Dinas Petanian Daerah, Badan Meteorology, BULOG, BPPT, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Surveyor Indonesia/SGS, Perguruan Tinggi Daerah, KUD, Penyuluh Pertanian, Petani.

“Indonesia bisa mempergunakan teknologi pertanian dan teknologi informasi yang sudah kita miliki. Minimal untuk dua atau tiga tahun ke depan swasembada beras bisa terjadi, jika semua itu bekerja,” ujar Husin.

Dia memaparkan, sampai saat ini pemerintah tidak memiliki data base yang akurat mengenai lahan pertanian. Pemerintah, lanjutnya, juga tidak menerapkan teknologi informasi dalam mengelola lahan pertanian.

Kondisi itu, kata Husin, berdampak pada kinerja dan penggapaian swasembada pangan yang tak kunjung ada. “Impor terus yang akan terjadi,” katanya.

Dipaparkan Husin, luas lahan pertanian perlu di data dengan akurat. Pendataan luas lahan pertanian yang masih memiliki potensi untuk berproduksi dan kebutuhan sesuai dengan kondisi, misal, kebutuhan irigasi, bendungan, dan lain-lain.

Kemudian, pemerintah juga harus melakukan pemetaan daerah rawan banjir di daerah pertanian, sehingga dapat dibuat bendungan atau waduk.

“Segeralah lakukan moratorium pengalihan fungsi tanah pertanian. Juga lakukan penelitian pencetakan sawah baru dengan memperhatikan fungsi lahan untuk tanaman padi,” ujarnya.

Pangan, lanjut dia, takkan mungkin dilepaskan dari kebutuhan akan lahan atau tanah. Karena itu, dikatakan Husin, kondisi tanah (Soil) untuk tanaman padi harus tersedia.

Untuk memastikan kondisi lahan, Husin menyarankan agar dilakukan pengujian ulang kondisi tanah pertanian untuk tanaman padi.

Pengujian, kata dia, bisa dilakukan dengan mempergunakan pengetahuan dan teknologi. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk pengujian, lanjut dia, melakukan penelitian atas kondisi kandungan hara pada tanah untuk menentukan jenis pupuk dan bibit yang cocok, tepat guna.

“Juga bisa dilakukan rehabilitasi kondisi tanah yang kritis dengan teknologi tepat guna dan penggunaan pupuk tepat guna. Sehingga kesuburan tanah dapat diperbaharui dan ditingkatkan,” ujarnya.

Sedangkan untuk penentuan masa tanam, lanjutnya, secara ilmu pengetahuan dan teknologi, disesuaikan dengan kondisi musim dan cuaca yang telah mengalami perubahan.

Husin mengingatkan, penggunaan bibit dan pupuk yang tepat guna dan benar disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian. “Bibit dan pupuk ya yang berserifikasi, bukan yang abal-abal,” ucapnya.

Dia mengatakan, petani Indonesia saat ini sering kesulitan memperoleh bibit dan pupuk. Oleh karena itu, pemberian subsidi bibit dan pupuk harus dilakukan dengan tepat sasaran dan tepat guna.

“Selanjutnya kan ya diperhatikan saja perawatan tanaman padinya. Pada saat musim tanam perawatan dengan penyuluhan pertanian yang intensif perlu dilakukan. Juga sistem penggunaan pupuk yang benar, mencegah hama dan seterusnya. Nah, ini juga belum sungguh dikerjakan,” tuturnya.

Finalnya, kata dia, masa panen. Masa panen akan dilihat apakah surplus padi atau tidak. Husin berharap, di musim panen, peranan Pemda,  Bulog, KUD dan Penyuluh Pertanian melakukan bimbingan kepada petani tentang cara yang benar proses panen sampai pengeringan.

“Dengan teknologi yang sederhana saja, padi yang baru panen, dilakukan penyemprotan dengan formula bio antibacterial, setelah itu dilakukan proses pengeringan,” ujarnya.

Selajutnya, urusan harga padi, beras, dan teknis pemasaran serta penggunaan beras untuk produk pangan lainnya, ya diserahkan ke pemerintah dengan mengedepankan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Untuk kesejahteraan petani.

“Kita harus mengutamakan produksi beras milik petani kita. Dan itu untuk kesejahteraan petani, agar ke depan terus bisa menggapai kedaulatan pangan sendiri. Nah, semua pihak tadi harus bekerja keras,” ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan, data pangan yang dimiliki antar kementerian dan lembaga tidak akurat. Hal itu mengakibatkan banyak kebijakan pangan yang diambil pemerintah tidak tepat sasaran.

Anggota BPK Rizal Djalil mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, BPK menemukan persoalan data konsumsi beras nasional tidak akurat.

“Saya tahu teman BPS diberikan mandat Presiden bahwa BPS satu-satunya sumber data. Untuk itu, tenaga ditambah, anggaran ditambah, regulasi diperbaiki,” kata Rizal di gedung BPK, Jakarta Selatan, Senin (21/5/2018).

“Tapi kami ingatkan ke BPS, tolong speed-nya dipercepat, gunakan teknologi canggih. Sehingga kebutuhan data yang diperlukan pemerintah bisa tersedia dalam waktu yang cepat,” ujarnya.

Selain data pangan, lanjut Rizal, data terkait lahan menurutnya juga tidak akurat. Pasalnya, selama ini, banyak lahan yang telah beralih fungsi, namun masih masuk dalam kategori lahan tanam.

“Data luas lahan tidak akurat. Terutama di Karawang, alih fungsi lahannya luar biasa. Dan ini harus kita antisipasi semua bagaimana mencegah alih fungsi lahan ini,” katanya.

Rizal menjelaskan, kesalahan juga terjadi dalam hal laporan produktivitas di lapangan. BPS dan Kementerian Pertanian melakukan pengumpulan luas panen dengan mengandalkan Dinas Pertanian setempat. BPK menemukan data luas panen itu dihitung oleh Kepala Cabang Dinas (KCD).

Rupanya rekrutmen KCD ini dilakukan tanpa syarat kompetensi dan proses seleksi. KCD juga tidak pernah menerima pelatihan terkait cara menghitung luas panen bahkan dengan cara sebatas pandangan mata.

Di lain pihak, KCD ini dibebani oleh target produksi padi. “Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan,” ucapnya.

Oleh sebab itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah untuk segera memperbaiki data pangan tersebut. Sehingga pemerintah tidak salah dalam mengambil sebuah kebijakan. “Jangan sampai mempersulit petani dan masyarakat nantinya,” katanya.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset