Pemerintah, Gereja dan Masyarakat Harus Bertanggungjawab, Bonus Demografi Belum Terkelola Baik

Pemerintah, Gereja dan Masyarakat Harus Bertanggungjawab, Bonus Demografi Belum Terkelola Baik

- in DAERAH, DUNIA, NASIONAL, POLITIK
1020
0
Seminar Nasional Bonus Demografi: Menyelaraskan Pembangunan Dengan Kesiapan Sumber Daya Manusia, dalam rangkaian kegiatan Refleksi Awal Tahun Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Merawat Pancasila, Merawat Kebhinnekaan, dengan Tema; Kebenaran Meninggikan Derajat Umat Manusia, Sub-tema; Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045, di Auditorium Grha Oikumene, Lantai 5, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta Pusat, Kamis (24/01/2019).

Jumlah penduduk yang besar seharusnya menjadi potensi yang besar untuk mempercepat kemajuan menuju kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Oleh karenanya, manusia Indonesia harus terdidik dan terlatih menghadapi berbagai problema kehidupan. Tidak cukup hanya terdidik dan terlatih, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia mesti juga memiliki sense atau pakai hati dalam melakukan pembangunan itu.

Hal itu diungkapkan Rektor Universitas Kristen Maranata Bandung Armein ZR Langi saat menjadi penceramah mengenai Bonus Demografi: Menyelaraskan Pembangunan Dengan Kesiapan Sumber Daya Manusia, dalam rangkaian kegiatan Refleksi Awal Tahun Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Merawat Pancasila, Merawat Kebhinnekaan, dengan Tema; Kebenaran Meninggikan Derajat Umat Manusia, Sub-tema; Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045, di Auditorium Grha Oikumene, Lantai 5, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta Pusat, Kamis (24/01/2019).

Armein mengatakan, banyak pakar mengklasifikasikan manusia dengan sebutan homo sapiens yaitu manusia yang cerdas. Kemudian, muncul juga penyebutan baru dengan homo deus.

“Homo deus ini, tadinya saya kira, adalah manusia yang disebut sebagai manusia seperti Pencipta, rupanya tidak. Homodeus dimaknai sebagai manusia super, manusia cerdas yang memiliki perpaduan kecerdasan intelektualitas dengan kecerdasan mesin komputer,” ungkap Armein.

Indonesia, lanjutnya, tidak menargetkan SDM-nya menjadi homo deus. Armein lebih mengedepankan manusia cerdas dan intelektual, yang memiliki hati.

“Saya menyebut dengan homo kardium. Kardium itu dari asal kata jantung, hati. Homo kardium, adalah manusia yang dalam praksis selain memiliki intelektualitas yang tinggi, kecerdasan yang baik, juga mempraksiskannya dengan hati, yang memiliki empati dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Armein.

Dia setuju bahwa perubahan sosial kemasyarakatan yang begitu pesat, dengan perkembangan teknologi dan informasi yang juga sangat pesat, harus mau dan mampu diantisipasi oleh SDM Indonesia.

“SDM Indonesia tidak boleh pasif atau apatis. Tetapi dinamis dan tetap mengedepankan diri sebagai homo kardium. Sehingga, bonus demografi yang besar ini, menjadi potensi yang besar dan bisa berguna bagi masyarakat Indonesia menuju kesejahteraan,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Tokoh Papua Balthasar Kambuaya menekankan adanya jurang pemisah yang begitu lebar, antara potensi masyarakat di Papua dengan masyarakat di luar Papua.

Pria asli Papua yang menjabatn Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menekankan, seharusnya dunia pendidikan Indonesia mampu mengubah masyarakat Papua agar semakin cerdas dan berdaya guna.

“Saya sampaikan, seharusnya, biarkan dan berikanlah anggaran sebesar-besarnya bagi masyarakat Papua untuk pendidikan. Agar terjadi perubahan yang baik, agar masyarakat terdidik dan mampu mengubah persoalan-persoalan yang ada menjadi peluang yang baik,” tutur Kambuaya.

Menurut mantan Rektor Universitas Cendrawasih (Uncen) Papua itu, Tanah Papua yang sudah 50 tahun berada di Indonesia, ternyata tidak mampu menjadi manusia cerdas. “Sejak 1961, Papua menjadi bagian dari Indonesia, Papua tidak mengalami perubahan berarti,” ujarnya.

Bahkan, katanya, teriakan masyarakat Papua untuk merdeka, juga sebagai bagian dari persoalan SDM-nya yang terus terpuruk.

Meskipun Pemerintah Pusat merespon dengan memberikan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, menurut Kambuaya, pendekatan ini tidak banyak memiliki arti. Pada dasarnya, pendekatan Otsus adalah pendekatan kesejahteraan. Sejak Otsus diterapkan di Papua pada 2001, tuntutan merdeka dari sebagian masyarakat Papua terus terjadi.

Lebih tegas lagi, lanjut Kambuaya, Otsus memberikan tiga pendekatan, yaitu adanya keberpihakan kepada masyarakat Papua asli, memberikan proteksi kepada masyarakat asli Papua dan pemberdayaan masyarakat asli Papua itu sendiri.

“Itu roh dari Otsus itu seharusnya. Faktanya, sekarang Papua dipecah menjadi lima gubernur pun tetap saja tidak berubah. Masyarakat Papua itu isi kantongnya banyak, melimpah, tetapi isi kepala sangat miskin. Ini yang harus dibenahi,” ujarnya.

Pemahaman yang dimunculkan di Masyarakat Papua agar Menjadi Tuan di Tanah Sendiri, menurut Kambuaya, disalahtafsirkan. Buktinya, kini masyarakat Papua makin terpecah-pecah. Sebab, masyarakat di Suku Adat Papua yang satu, tidak boleh menjadi kepala di masyarakat atau wilayah masyarakat adat yang lainnya.

“Jadinya kok pendekatan kewilayahan? Menjadi Penguasa di wilayahnya sendiri secara begitu ya salah penafsiran. Lagi pula, lihatlah, di kota-kota yang bertumbuh di Papua, masyarakat yang menghuninya adalah orang-orang asing. Setiap kota di Papua, sebanyak 60 persen penduduknya adalah orang asing, hanya sekitar 40 persen saja orang Papua asli,” beber Kambuaya.

Hingga saat ini, lanjutnya, masyarakat Papua selalu terpuruk. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan semua sektor kehidupan.

“Selalu jadi the bottom. Kemiskinan tertinggi, pelanggaran HAM tertinggi, pendidikan terendah, ekonomi terendah. Selalu jadi nomor satu dari bawah,” ujarnya.

Dia menegaskan, ada tiga pihak yang paling bertanggung jawab untuk pembenahan SDM dan masyarakat Papua, yaitu Pemerintah Pusat, Masyarakat Papua di Pemerintah Daerah dan Masyarakat Papua dan Gereja.

“Makanya, dalam sebuah kesempatan, sewaktu saya menjadi Menteri, ada pendeta-pendeta datang ke Istana Negara. Mereka bertemu Presiden, para pendeta bilang, di Papua istilah NKRI Harga Mati itu juga disebutkan. NKRI Harga Mati, Papua Harga Mati, oleh karenanya setiap hari ada orang yang mati. Ini menjadi pergumulan bersama, untuk menyelaraskan dan membuat Papua maju,” ujarnya.

Kegiatan PIKI ini diikuti oleh sejumlah tokoh seperti Cendekiawan Muslim Prof DR Komarududdin Hidayat yang menjadi Pembicara Utama. Juga perwakilan dari Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) dan Perwakilan Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI).(JR/Nando)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di