Kepala Daerah Kena OTT, Bukan Soal Gaji Yang Kecil, Ternyata Moral Kepemimpinan Minim

Kepala Daerah Kena OTT, Bukan Soal Gaji Yang Kecil, Ternyata Moral Kepemimpinan Minim

- in DAERAH, HUKUM, NASIONAL, POLITIK
600
0
Teror Bom Kepada Pimpinan KPK, Sabotase Pemberantasan Korupsi Sedang Terjadi.

Ini adalah warning bagi semua warga negara, terutama kepada para elit politik di tingkat nasional dan lokal. Seringnya Kepala Daerah kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menandakan moralitas para politisi dan pejabat di Indonesia sudah sangat minim.

Oleh karena itu, masyarakat pun dihimbau untuk memilih pemimpin yang menjaga integritas dan moralitasnya yang baik. Selain itu, masyarakat dan aparat penegak hukum harus terus melakukan kontrol ketat terhadap para pemimpinnya.

Direktur Lembaga Kajian dan Analisa Keterbukaan Informasi Publik (Lembaga Kaki Publik) Wahyudin Jali mencontohkan, dalam OTT yang menjerat pimpinan tinggi Kabupaten Lampung Selatan, pihak KPK mengamankan bukti berupa uang dengan jumlah yang membuat masyarakat Lampung Selatan menggeleng-gelengkan kepala, total Rp 700 juta dalam bentuk pecahan 50 ribu dan 100 ribu.

“Ini membuktikan buruknya kredibilitas kepala daerah di tengah-tengah tuntutan kenaikan gaji kepala daerah,” tutur Wahyudin, Minggu (29/07/2018).

Dia pun mengungkapkan, sepak terjang Zainudin Hasan, selain sebagai adik kandung Ketua MPR, Zulkifli Hasan, juga dikenal sebagai ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Provinsi Lampung.

Pria ini maju sebagai Bupati pada tahun 2015. Zainudin Menjadi Bupati Lampung Selatan berpasangan dengan Nanang Ermanto, sebagai besutan empat  partai yaitu PAN, PKS, PDIP, dan NasDem.

“Namun koalisi ini tidak mampu menjamin bersihnya pemerintahan seperti yang dijanjikan pada saat kampanye,” ujar Wahyudin.

Di tengah tuntutan kenaikan gaji kepala daerah, lanjut dia, maka OTT kepala daerah yang kian marak membuktikan bahwa kenaikan gaji bukanlah solusi untuk mengikis korupsi yang dilakukan kepala daerah.

Menurut Wahyudin, kecilnya pendapatan kepala daerah merupakan pembodohan dan pembohongan publik.

“Karena gaji kepala daerah bukan sebesar gaji pokok yang diketahui oleh masyarakat umum, tetapi juga ada tunjangan yang didapat dari Pendapatan Asli Daerah,” ujarnya.

Misal, kata dia, diketahui bahwa harta Zainudin sebesar Rp 13,396,204,209 miliar pada tahun 2015 saat mengajukan diri untuk maju sebagai Bupati. Padahal tahun 2013 harta Zainudin sebesar Rp 2.331.631750.

Dalam 2 tahun, menurut Wahyudin, harta Zainudin bertambah sebesar Rp 11 Miliar. “Jumlah tersebut membuktikan bahwa seorang bupati bukanlah orang yang miskin, bukan orang yang kekurangan pendapatan dan membutuhkan uang dari hasil korupsi. Ini adalah masalah mentalitas kepemimpinan, bukan soal besaran gaji atau pendapatan seorang kepala daerah,” tuturnya.

Dia melanjutkan, kedudukan yang diamanatkan oleh undang-undang dengan jalan pemilu yang demokratis ini menjadi bermartabat dan berintegritas.

“Ke depannya, kepala daerah terpilih harus mampu menunjukkan sikap dengan tidak menyakiti masyarakat melalui tindakan amoral dengan merampas uang rakyat,” pungkas Wahyudin.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di