Jika Perpresnya Jokowi Tak Mengakomodir Aspirasi Masyarakat Batak, Sebaiknya Badan Otorita Danau Toba Tak Usah Berlanjut

Jika Perpresnya Jokowi Tak Mengakomodir Aspirasi Masyarakat Batak, Sebaiknya Badan Otorita Danau Toba Tak Usah Berlanjut

- in NASIONAL
657
0
Jika Perpresnya Jokowi Tak Mengakomodir Aspirasi Masyarakat Batak, Sebaiknya Badan Otorita Danau Toba Tak Usah Berlanjut.

Presiden Jokowi diminta agar mendengar aspirasi Masyarakat Adat Batak di Kawasan Danau Toba (KDT) dan menuangkannya di dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Badan Otorita Danau Toba (BODT). Jika tidak mendengarkan dan tidak mengakomodir aspirasi masyarakat, maka sebaiknya desain membuat Badan Otorita di Kawasan Danau Toba tidak perlu dilanjutkan oleh pemerintah pusat.

Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan menyampaikan, sangat perlu bagi Presiden Jokowi untuk melibatkan masyarakat di Kawasan Danau Toba dalam penyusunan Perpres tersebut.

“Dari mulai penyusunan Perpres hingga pengelolaannya nanti harus melibatkan masyarakat di Kawasan Danau Toba, agar sesuai keinginan masyarakat. Perpres itu harus memasukkan aspirasi dan budaya masyarakat Batak, harus menjaga wilayah Masyarakat Adat Batak, memberdayakan masyarakat Kawasan Danau Toba serta menjaga kelestarian lingkungan hidup,” papar Maruap Siahaan, di Jakarta, Rabu (30/03/2016).

Sebenarnya, lanjut Maruap, gagasan pembentukan Badan Otorita Danau Toba (BODT) adalah gagasan yang diberikan oleh Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) kepada pemerintah dalam rangka pembangunan Kawasan Danau Toba.

“Kita menyampaikan bahwa perlu sebuah badan untuk tatakelola pembangunan yang berkelanjutan, berbasis kepada potensi kawasan dan kearifan lokal. Dengan membangun kawasan yang memperhatikan budaya masyarakat, mempergunakan Sumber Daya Alam untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,” papar dia.

Satu hal yang perlu ditekankan, lanjut dia, bahwa masyarakat di Kawasan Danau Toba itu dilibatkan untuk memikirkan masa depan mereka.

“Badan Otorita Danau Toba ini semestinya mengajak masyarakat. Demikian juga dengan Pemda (pemerintah daerah), itu kan dari masyarakat untuk melakukan tatakelola pembangunan masyarakat. Seharusnya, semua itu menjadi stake holder yang mengutamakan masyarakat,” ujar Maruap.

Bagi YPDT, lanjut Maruap Siahaan, masyarakat adat Batak harus dilibatkan. “Karena nilai budaya itu-lah pemandu peradabannya. Kita sangat mendukung konsep Nawacita Jokowi, untuk menghadirkan negara bagi masyarakat,” ujarnya.

Dia mengingatkan, bahwa kekuasaan di pemerintahan, baik di Pemerintah Pusat maupun di pemerintahan daerah, termasuk dalam urusan hendak membuat Badan Otorita Danau Toba itu adalah kekuasaan rakyat. Karena itu, semua upaya yang dilakukan hendaknya juga berguna dan demi kesejahteraan masyarakat.

“Kekuasaan itu milik rakyat yang diamanatkan,” ujarnya.

Bagi Maruap, jika kehadiran BODT dijadikan sebagai leading sector bagi pariwisata di Kawasan Danau Toba, maka diharapkan adanya percepatan bagi kebaikan kawasan.

“Dan Badan Otorita itu pun akan berakhir jika target atau sasaran percepatan itu sudah tercapai. Saya kira demikian,” ujar dia.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menyampaikan, basis utama pembentukan BODT harus pada masyarakat adat. Tanpa itu, maka niscahya angan-angan memajukan pariwisata hanyalah mimpi buruk.

“Jika Badan Otorita itu dimaksudkan untuk membangun kawasan Danau Toba secara terpadu dengan berbasis masyarakat adat, dan bukan hanya untuk urusan pariwisata saja, maka pembentukannya layak diapresiasi. Tetapi tanpa basis masyarakat adat,  tentu akan banyak konflik di masyarakat, konflik horizontal antar masyarakat, dan konflik vertikal masyarakat dengan investor,” ujar Abdon Nababan.

Menurut Abdon, konsep yang dibangun pemerintah pusat saat ini dalam pembangunan Badan Otorita Danau Toba hanyalah sebagai tujuan atau destinasi wisata semata.

“Dari konsep yang ada saat ini, nampaknya badan otorita ini hanya dimaksudkan untuk mendorong Kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata yang mengandalkan keindahan alamnya. Belum terlihat adanya kekuatan budaya yang ada di masyarakat,” ujar dia.

Nah, menurut Abdon, dalam posisi kosepsi seperti itulah keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya terabaikan dan dianggap tak perlu oleh pemerintah pusat.

“Dari konsep yang ada saat ini, keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, termasuk hak atas wilayah dan tanah adat, tidak menjadi agenda penting yang akan ditangani oleh BODT,” ujar Abdon.

Kerusakan Kawasan Danau Toba tidak akan bisa terhindarkan, jika pemerintah pusat hanya memaksakan konsep pembentukan Badan Otorita Danau Toba seperti untuk tujuan bisnis pariwisata semata.

Ketua Bidang Hukum Yayasan Pecinta Danau Toba Sandi Ebenezer Situngkir, mengingatkan, kehadiran BODT akan menimbulkan benturan-benturan yang menimbulkan konflik yang tak terhindarkan di Kawasan Danau Toba, jika pemerintah memaksakan pengelolaan Badan Otorita Danau Toba hanya berlandaskan kepentingan pariwisata demi mendapat keuntungan bisnis semata.

Persoalan hukum dan hak ulayat maupun keberadaan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba tidak dipikirkan dengan sehat dalam rencana pembentukan BODT itu. Karena itu, Sandi mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak hanya memuluskan kepentingan bisnis pariwisata yang pada akhirnya akan merusak tatanan kehidupan masyarakat di Kawasan Danau Toba.

“Seharusnya tidak hanya konsern pada lingkungan kawasannya, akan tetapi juga masyarakatnya, supaya terjadi pembangunan manusia. Jadi bukan hanya fisiknyasaja. Pemerintah juga harus melakukan pembangunan zonaisasi di pinggiran Danau Toba, agar perkampungan yang sudah berusia ratusan tahun, serta ladang pertanian tidak tergusur,” papar Sandi.

Menurut Majelis Pertimbangan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta ini, pemerintah pusat harus membuka ruang untuk menyerap dan mendengarkan kemauan dan kebutuhan masyarakat di Kawasan Danau Toba jika memang pemerintah memiliki niat baik memajukan kawasan.

“Bicara Kawasan Danau Toba, maka pemerintah harus bicara langsung dengan masyarakat Batak yang tinggal dan berdiam di Kawasan Danau Toba yang masih menganut prinsip hukum adat, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang telah betahun-tahun bercocok tanam,” terang Sandi.

Sejauh ini, rancangan Perpres tentang BODT tidak mengakomodir aspirasi masyarakat di Kawasan Danau Toba. Misalnya, lanjut Sandi, dari sisi hukum adat posisi masyarakat adat di Kawasan Danau Toba sangat kuat. Sesuai pasal 18b UUD 1945, Masyarakat Adat dan tatanan hukum adatnya telah diakui keberadaannya. Termasuk penguasahaan lahan atau tanah, sebagaimana tertuang di dalam  Pasal 3 dan 5 Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang pertanahan. Undang Undang ini adalah untuk memastikan bahwa hukum adat juga menerapkan hukum agraria sebagai hukum yang berlaku di Masyarakat Adat.

“Maka hukum kepemilikan tanah masyarakat harus mengacu ke hukum adat. Sedangkan menurut Undang Undang Kehutanan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35, disebut hutan adat yaitu hutan yang ada di sekitar perkampungan dan pertanian masyarakat bukan hutan negara, tetapi hutan adat yang merupakan milik masyarakat adat,” ujarnya.

Diungkapkan Sandi, kehadiran Rancangan Peraturan Presiden Otorita Danau Toba sangat diskriminatif, tidak sistematis dan melanggar prinsip penyusunan Undang Undang.

“Rancangan Perpres itu sudah tidak sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Undang Undang. Jadi disimpulkan kehadiran Pepres itu melanggar Undang Undang di atasnya,” tutur dia.

Lebih lanjut, ketidaksesuaian kepentingan dan keperluan masyarakat telah dipaksakan dimasukkan di dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Otorita Danau Toba itu. Di dalam Rancangan Perpresnya Jokowi itu, disebutkan pengaturan lahan 500 hektar sebagai Hak Pengelolaan (HPL) dari Otorita Danau Toba. Lahan yang dimaksud itu keberadaannya di Kabupaten Toba Samosir.

“Ini merupakan ketidakadilan bagi tujuh kabupaten lainnya di Kawasan Danau Toba. Kalau seluas 500 hektar hanya ada di kabupaten Toba Samosir, sudah pasti melanggar prinsip keadilan dan melanggar prinsip kepastian hukum kepada tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba,” ungkap Sandi.

Ingat, lanjut Sandi, Rancangan Perpres itu juga akan membuat Orang-Orang Kaya Batak di Perantauan akan beralih profesi menjadi spekulan tanah. “Dengan caramembeli tanah masyarakat dengan harga murah, kemudian menjual tanah ke pengusaha dan Badan Otorita dengan harga mahal,” ungkap dia.

Sandi menegaskan, upaya pembentukan Badan Otorita Danau Toba itu sebaiknya ditunda saja dulu, sebab langkah itu juga ternyata telah menciderai program Nawacitanya Jokowi. “Kemungkinan Jokowi akan dijerumuskan, sama seperti kasus PT Inti Indorayon Utama yang kini berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari yang menggerus hutan pinus dan lahan di Kawasan Danau Toba. PT Inti  Indorayon Utama yang dipaksakan hadir di Porsea itu sejak awal sudah menimbulkan konflik berkepanjangan, hingga kini konfliknya meluas ke seluruh Kawasan Danau Toba. Stoplah dulu rencana ini bah,” pungkas Sandi.

Rektor Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Mangadar Situmorang berpendapat, jika  BODT ingin menjalankan peran sebagai koordinator, akselerator, dan eksekutor dengan legitimasi dan efektifitas yang tinggi dalam percepatan pariwisata, maka diperlukan desain pembangunan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) dan sungguh-sungguh memerhatikan aspek budaya dan konservasi lingkungan (cultural and environmental conservation).

Peran koordinatif yang dijalankan BODT pun hendaknya lebih bersifat fasilitatif dan kolaboratif. Dengan demikian, tetap terbuka ruang bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah kabupaten untuk ambil bagian dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutannya.

Tidak dapat dimungkiri bahwa semua prinsip di atas akan mewujudkan sustainable ecotourism yang berarti kawasan wisata Danau Toba akan menjadi destinasi yang akan berlangsung untuk selamanya.

“Ini bukan kumpulan proyek jangka pendek dan sektoral. Pengadaan dan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dermaga, atau fasilitas fisik lainnya dan penataan tata ruang, mungkin bisa dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat, misalnya sampai 10 atau 15 tahun, tetapi konservasi alam dan nilai-nilai historis dan budaya masyarakat harus terus berlangsung karena sesungguhnya kegiatan dan manfaat ekonomi yang akan diperoleh semuanya bertitik tolak pada konservasi alam, sejarah, dan budaya masyarakat setempat,” ujar Mangadar.

Karena itu, lanjut Mangadar Situmorang, keputusan pemerintah mendirikan BODT harus dibaca sebagai mengemban misi ganda yang tidak bisa dipisahkan, yakni merawat (konservasi) dan memanfaatkan (utilisasi), BODT ditujukan untuk memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan masyarakat, dan pada saat bersamaan memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan pembentuk Badan Otoritas Danau Toba pada Januari tahun 2016 agar otoritas ini mengatur pengelolaan di kawasan Danau Toba.

Menurut Rizal, pembentukan otorita itu perlu untuk mencapai target wisatawan mancanegara (wisman) menjadi 20 juta pada 5 tahun mendatang. Itu stimulus diberikan pemerintah selain bebas visa dan kemudahan kemudahan sandar kapal mewah.

Dia mengatakan, Danau Toba merupakan satu dari 10 kawasan yang bakal dibentuk badan otoritasnya. “Kami sudah masuk anggaran tahun 2016 akan dikembangkan 10 daerah tujuan wisata baru di luar Bali, karena Bali sudah keramaian, padahal banyak tujuan wisata yang bagus,” ujarnya.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan badan itu memiliki fungsi untuk mengembangkan wilayah pariwisata. Kemudian, badan otoritas juga menyediakan infrastruktur dasar serta pengembangan fasilitas pendukung seperti hotel. “Pengembangan hotel ini bisa kerjasama swasta terkait,” ujar Arief.

Pemerintah sendiri telah memilih 10 kawasan wisata yang nantinya akan dibentuk badan otoritas. Kawasan tersebut meliputi Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo, Mandalika, Pulau Komodo, Wakatobi, dan Morotai.

Dengan badan otoritas diharapkan pengelolaan kawasan wisata lebih efektif dan efisien. “Danau Toba kawasan strategis nasional karena itu pengelolanya harus satu,” ujarnya.(JR-1)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Tak Mempan Jalur ‘Soft’, Banthe Bodhi Setuju ‘Main Keras’ Untuk Hentikan Sepak Terjang Biksuni Eva alias Suhu Vira Vasu dan ‘Biksu Liar’ Lainnya

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) yakni