Ditolak Pihak Rumah Sakit, Diabaikan Pihak BPJS Kesehatan, Pasien Meninggal Dunia Kementerian Kesehatan Harus Lakukan Investigasi

Ditolak Pihak Rumah Sakit, Diabaikan Pihak BPJS Kesehatan, Pasien Meninggal Dunia Kementerian Kesehatan Harus Lakukan Investigasi

- in NASIONAL
651
0
Kementerian Kesehatan harus lakukan investigasi terhadap meninggalnya pasien peserta BPJS Kesehatan.

Kementerian Kesehatan diminta segera melakukan upaya pengusutan atau investigasi terhadap peristiwa meninggalnya seorang pasien peserta BPJS Kesehatan yang ditolak oleh Rumah Sakit saat hendak berobat.

 

Selain itu, pihak BPJS Kesehatan dan pihak Rumah Sakit yang bersangkutan juga harus diberikan sanksi dan hukuman yang tegas.

 

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, kasus yang dialami Ananda Muhammad Rizky Akbar yang tidak mendapatkan pelayan yang baik dari beberapa Rumah Sakit hingga akhirnya meninggal dunia, merupakan kasus berulang yang terus terjadi.

 

“Dan sepertinya Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan tidak mau memperbaiki dan meningkatkan pelayanannya terkait kasus-kasus seperti ini,”  tutur Timboel Siregar, di Jakarta, Sabtu (03/09/2016).

 

Dikatakan Timboel, setelah membaca kronologis yang disampaikan pihak BPJS Kesehatan dan pemberitaan media, BPJS Watch menilai kejadian ini sebagai bentuk kelalaian riil Rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ternyata tidak diberikan Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan.

 

“Pihak Kemenkes harus menginvestigasi Rumah-Rumah Sakit yang didatangi si pasien JKN ini, karena tampak adanya ketidakseriusan dalam  penanganan,” ujar dia.

 

Menurut Timboel, ada indikasi kuat bahwa telah terjadi pembiaran yang oleh Rumah Sakit kepada ananda Rizky. Karena itu, Kemenkes harus berani memberikan sanksi pada Rumah Sakit Harapan Kita sebagai Rumah Sakit Pemerintah untuk penderita sakit jantung dan memiliki fasilitas kesehatan dan dokter spesialis yang mumpuni, ternyata tidak memberikan pelayanan yang maksimal.

 

“Ini harus diinvestigasi lebih khusus oleh Kemenkes,” ujar dia.

 

Selain itu, lanjut Timboel, pihak BPJS Kesehatan harus bertanggungjawab juga atas permasalahan ini. Kenapa? Karena keluarga pasien peserta JKN ini mencari-cari Rumah Sakit yang mau dan bisa menangani si anak tanpa mendapatkan bantuan dari BPJS, hingga akhirnya si anak dibawa ke Rumah sakit Eka Hospital yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan harus membayar secara pribadi.

 

“Ini kelalaian nyata BPJS Kesehatan yang seharusnya membantu pasien JKN dalam mencari Rumah Sakit yang bersedia merawat si anak. Pelanggaran hak pasien JKN di Rumah Sakit dikontribusi oleh kecurangan Rumah Sakit dan ketidakmauan BPJS Kesehatan untuk membantu pasien di Rumah Sakit,” tutur dia.

 

Sejak lama, lanjut Timboel, BPJS Watch sendiri sudah selalu meminta agar BPJS Kesehatan membuka desk pelayanan di berbagai Rumah sakit, selama 7 hari dan selalu 24 jam , serta harus memiliki jaringan online 24 jam ke seluruh Rumah Sakit yang menjadi provider BPJS.

 

Desk pelayanan 24 jam 7 hari dan sistem online ini akan sangat membantu pasien JKN dalam mencarikan dan mendapatkan Rumah sakit yang bisa melayani pasien JKN secara langsung tanpa harus lagi pasien dan keluarganya mencari-cari Rumah Sakit.

 

“Kalau sistem ini ada, maka Ananda Muhammad Rizky akan bisa tertolong. Sebab, berharap dari hotline service 1 500 400 yang dibuat BPJS Kesehatan, ternyata tidak akan signifikan membantu pasien di Rumah Sakit. Pasien JKN butuh bantuan cepat dan pasti dari BPJS Kesehatan. Relasi pasien dan Rumah Sakit adalah subordinat, tidak equal. Oleh karenanya, BPJS Kesehatan harus membantu pasien di Rumah Sakit,” terang Timboel.

 

Timboel pun meminta Presiden Jokowi agar memerintahkan Kemenkes untuk segera melakukan investigasi dan penyelidikan atas masalah ini.

 

“Kami pun meminta agar Presiden Jokowi menegur Direksi BPJS Kesehatan yang lalai dalam membantu pasien JKN. Ingat, kasus seperti ini merupakan perulangan yang terjadi di berbagai Rumah Sakit,” ujarnya.

 

Utuk keluarga pasien, lanjut Timboel, sebaiknya mau bertindak dengan menggunakan Pasal 48-50 Undang Undang Nomor  24 tahun 2011 tentang BPJS, yaitu dengan mensengketakan BPJS Kesehatan melalui pengadilan.

 

Menurut dia, upaya ini adalah untuk mengingatkan BPJS agar bekerja serius membantu pasien JKN. “Dan tentunya keluarga pasien juga mau mensengketakan Rumah Sakit-Rumah sakit yang telah lalai tersebut ke jalur hukum. Hal ini sudah kesekian kalinya terjadi. Dan semoga dengan upaya keluarga mensengketakan masalah ini kasus pembiaran pasien tidak terjadi lagi,” ujar Timboel.

 

Timboel menerangkan, dasar hukum adanya pelanggaran yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah pasal 22 ayat 1 Undang Undang Nomor 40 tahun 2004  tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang menyatakan manfaat Jaminan Kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa, salah satunya, pelayanan kuratif. Dan, pada pasal 24 ayat 3 di Undang Undang itu, juga memerintahkan BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan.

 

Dikatakan Timboel, kasus Ananda Rizly ini terjadi karena BPJS Kesehatan tidak memastikan Rumah Sakit melakukan pelayanan kuratif dengan baik dan maksimal.

 

“Dan BPJS Kesehatan tidak mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan kesehatan,” kata dia.

 

Kehadiran BPJS Kesehatan 7 x 24 jam di Rumah sakit-Rumah Sakit yang menjadi provider BPJS Kesehatan dan adanya sistem online antar Rumah Sakit yang dikelola BPJS Kesehatan, sehingga pasien bisa dicarikan Rumah sakit yang akan merawat pasien JKN, merupakan salah satu implementasi perintah mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan kesehatan.

 

Menurut Timboel, Direksi BPJS Kesehatan tidak melakukan amanat pasal 22 ayat 1 dan Pasal 24 ayat 3 Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tersebut pada kasus Ananda Rizky ini.

 

Sehingga, lanjut dia, dikarenakan BPJS lalai melaksanakan Pasal 22 ayat 1 dan pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004, maka keluarga Pasien Rizky berhak menggunakan Bab XII pasal 48 sampai 50 Undang Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.

 

Timboel menjelaskan, proses sengketa dimulai di pasal 48 yaitu keluarga pasien melakukan pengaduan atas masalah yang ada ke BPJS Kesehatan.

 

“Pihak BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 hari kerja sejak pengaduan diterima. Bila pengaduan yang disampaikan ke BPJS tidak dapat diselesaikan maka keluarga pasien dapat mengajukan penyelesaian sengketa ini melalui mekanisme mediasi yaitu via mediator yang disepakati kedua belah pihak. Proses mediasi paling lama dilakukan 30 hari kerja. Ini perintah Pasal 49,” tutur Timboel.

 

Lalu, kata dia, bila proses mediasi pun gagal, maka keluarga pasien dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal pemohon. “Ini amanat Pasal 50,” katanya.

 

Dia pun mendorong masyarakat peserta JKN bisa menggunakan mekanisme pasal 48 sampai pasal 50 bila BPJS Kesehatan lalai menjalankan amanat Pasal 22 ayat 1 dan Pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004.

 

“Mekanisme ini belum tersosialisasi ke masyarakat peserta JKN sehingga masyarakat peserta JKN terus jadi korban, dan BPJS Kesehatan merasa benar terus, sehingga tidak mau memperbaiki dan meningkatkan pelayanannya,” pungkas Timboel.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di